Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kumpulan Puisi-Puisi Pendek: Ungu

27 Agustus 2021   16:26 Diperbarui: 27 Agustus 2021   17:23 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto by Maryam Maharani

Puisi 1

Kita butuh ruang untuk berpuisi.
Dan puisi membutuhkan ruang untuk di pahami.
Bila kau bertanya di mana ruang berpuisi jawabnya di dalam hati.
Dan bila kau bertanya di mana ruang untuk memahami jawabnya ada di dalam hidup ini.

Hidup adalah puisi-puisi terindah yang tanpa di sadari.
Kita telah menulisnya di sepanjang jalan menuju akhir persinggahan.
Maka aku menulis puisi merangkai kisah yang aku lalui

Puisi 2

Telah lahir satu puisi dari rahimmu.
Serupa luka, serupa embun nan semu.
Kerling mata yang rapuh menyimpan segala makna yang luruh.
Dan jari-jemari yang kecil itu ia menggapai erat kelabu rindu.

Puisi 3

Kamu adalah mendung dalam genggamanku.
Yang terus melemparkan senyum.
Meski ku tahu kemarau akan terus berlalu.
Sampai nanti kau sembuh menebarkan kembali hujan dan pelangi baru.

Tak tahukah kamu bagaimana kerinduan itu selalu datang.
Bagai kelebatan halilintar yang menghujam kalbu.
Mungkin aku salah, mungkin aku terlalu.
Namun hadirmu sayang bagai gairahku yang pernah hilang.

Peluk aku seperti pernah ribuan malam berlalu.
Saat kita muntahkan segala sepi di atas ranjang biru.
Berontak terhadap naluri akal, kau dan aku bergemul di dalam kabut.
Menggeleparlah asmara di lantai, di dinding kita tulis namaku dan namamu. "I Love You"

Puisi 4

Aku mempunyai sejuta hujan untuk ku berikan kepadamu.
Tetapi tidak cinta tidak juga rindu.
Sebab aku hanyalah gumpalan awan yang terpanggang di langit.
Dan sengaja meneduhkan dirimu dari panas yang terik.

Puisi 5

Adakah pekat dalam dadamu yang belum pernah ku buka atau ku remas
dalam remang bayang rindu dan cinta yang panas.
Mencintaimu tidak hanya sekedar dari rindu dan cerita-cerita,
mencintaimu seperti juga mencintai lenguh nafasmu yang panjang menderu.
Yang sering kali bergemuruh di dalam awan nan mendung.
Lalu ku seka keringat di keningmu bagai butiran gerimis yang lembut jatuh.

Puisi 6

Selagi kemarau masih ada dan meranggaskan daun-daun segar.
Kenapa tidak kamu iyakan pernyataan cintaku kepadamu yang ikhlas.
Biar nanti di kala musim hujan datang kita dapat berteduh dalam naungan cinta.
Bukankah itu mengasyikan kau dan aku dalam hujan yang deras berlarian.
Menyusuri rindu yang tertahan di dada membiarkannya mekar hingga waktunya tiba
Ku petik bunga dalam halal yang indah dalam satu ikatan cinta.

Puisi 7

Dan kau, kau yang bagai bayang menyelimutiku dalam sunyi
pergilah sebab aku ingin sendiri.
Menikmati kelumpuhan dan mencoba untuk berdiri.
Ku tak ingin lagi mengenalmu, ku ingin terus menjauh dan menghilang
bagai lambaian tangan di dermaga saat kapal berangkatberlayar.

Puisi 8

Ada ruang yang belum terjamah dan kuingin memasukinya
seperti udara yang bebas lalu lalang menyelinap di lubang jendela.
Merekahlah iman dan ku buang dosa di pelataran jalan hitam nan kasar.
Ku biarkan menggigil dan membeku menjadi keheningan malam.

Puisi 9

Sepasang mata telah menjadi bulan, cahayanya redup melintas di alismu yang hitam.
Sepasang burung malam terbang bersahutan, betina dan jantan.
Menepis angin memeluk cakrawala jauh terbentang.
Di bumi, di bumi yang semakin tua dan meradang.

Puisi 10

Di mana kamu taruh pesananku, hujan dan angin yang dingin.
Aku ingin segera melumatnya sebelum datang banjir.
Jiwaku lapar, jiwaku haus, merangkak dan meluruh.
Sambil terus ku tulis puisi untukmu di atas kabut nan biru.

Puisi 11

Sepasang kucing mengeong dan mengerang.
Kuning dan hitam berekor panjang.
Di dalam gelap di sudut jalan remang-remang, yang kuning menggigit leher dan menindih yang hitam.
Aku tertegun sambil membayangkan istriku apakah ia bisa ku bangunkan.
Seperti kucing kuning kepada kucing hitam., menggelepar melepaskan erangan.

Puisi 12

Terbuat dari apa sepi yang dingin ini.
Ingin ku kemas dan kubawa pergi.
Ke dalam kamar di mana kamu rebah dan telanjang.
Menggauli mimpi dari bunga-bunga yang harum di pekarangan.

Oh, aku malas beranjak aku suka sekali cuaca yang dingin dan suasana yang sepi.
Lalu aku bakar lagi rokok yang di larang undang-undang.
Sebab membuatku mabuk kepayang dan menghilang.
Oh Tuhan, sudikah kamu jadi temanku sebelum subuh datang.

Handy Pranowo 

27082021

untuk Maryam Maharani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun