Detak jarum jam berlagak dungu menyapa waktu.
Gerombolan anjing menggonggong di pintu kabut.
Angin bersiul memanggil daun-daun hingga jatuh.
Keheningan rubuh ke tanah, melepas akar-akarnya menjadi keheningan baru yang sulit di terka.Â
Belum lagi tersentuh, khusyuk, teduh, meski penuh luka-luka di ujung kisahnya, tetap membisu lara.
Lalu hujan datang menziarahi malam membawa doa-doa yang tersimpan di mulutnya.
Belatung-belatung menjadi kupu-kupu, burung-burung menjadi malaikat dan segenap hantu berubah menjadi aku.
Dan aku menyanyikan tembang syahdu untuk langit yang penuh cemburu.
Aku tahu Tuhan tak pernah tidur namun siapa sangka aku juga begitu, hingga mimpi-mimpiku melantur jauh.
Kemudian hujan menghentikan doa-doanya, angin kembali bersiul menjatuhkan daun-daun.
Gerombolan anjing berpisah di ujung jalan menyisakan air liurnya di jilat lampu temaram.
Keheningan memuai, rembulan datang dari selatan membawa api berkoar-koar menyuluti malam.
Dan kematian hanyalah ilusi dari rangkaian perjalanan yang tiada kekal.
Aku di hinggapi dosa-dosa kehidupan, lebat berakar menyeretku ke dalam hingga sulit ku bernafas.
Kemanakah aku akan singgah setelah ini, Tuhan pun diam tak banyak berkata namun masih memberikanku kesempatan untuk terus berdoa.
Handy Pranowo
22052021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H