Matamu telah menjadi bulan yang paling sunyi, memilih hening dan sendiri sambil menyeberangi garis malam yang terbentuk oleh takdir hidup dan mati.Â
Lautan kabut dan jarak waktu terbengkalai menyusun mimpi yang tak pernah selesai. Arah mana jalan yang mesti di lewati sedang persimpangan menjadi rambu yang susah di mengerti.
Dan puisi ini berapa kali harus membunuhmu agar kamu bisa merayakan segala perih yang tak sempat di kuburkan oleh waktu yang terus menikam jantungmu.Â
Aku ingin sekali menjadi teman malammu sekali lagi ketika hujan melarutkan air matamu yang bening dan kaku menjadi kunang-kunang, kuku hantu atau bintang-bintang yang bisu.
Dan ternyata kamu adalah kekasihku, sedemikian hebatnya aku melupakanmu namun tidak matamu yang bulan itu. Aku mengenalinya sungguh, di suatu waktu yang terlampau jauh.
Maka tunjukkanlah aku sebuah jalan menuju persimpangan yang dulu pernah menjadi rambu peringatan di mana kita simpan kata-kata yang paling beracun.
Lalu kita memilih telanjang dengan sikap kekanak-kanakkan yang tidak lagi lugu, di bawah lampu kamarmu yang suram saat itu. Aku mencium harum nafasmu, seperti harum purnama yang baru muncul.
Tatapan matamu begitu dalam dan aku merasakan ada sesuatu yang hendak keluar dari sana, bulat dan terang. Katamu kenalilah rindu ini sayang bila nanti kita berpisah tak akan ada lagi yang mesti di pertanyakan.
Setelah itu kamu terburu-buru mengikat rambutmu lalu pergi meninggalkan aku. Dan bulan terang menggantung di kamarmu, aku terpaku menatap bisu.
Handy Pranowo