Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Bangku Stasiun

5 April 2021   16:15 Diperbarui: 5 April 2021   16:26 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bangku stasiun kita duduk berdekatan, kepalamu jatuh luruh di bahu sebelah kiri dan matamu memandang jauh ke depan ke sebuah gunung yang kemarin malam baru saja kita tempuh puncaknya.

"Mas, jam berapa keretanya datang? apakah keretanya masih jauh? apakah nanti keretanya akan melewati gunung? mendaki gunung?"

Aku tak langsung menjawab pertanyaanmu yang bertubi-tubi itu sampai selesai aku mendengar burung-burung gereja riuh berkicau, di dalam stasiun lalu terbang lagi ke sebuah gerbong kosong di ujung stasiun lalu menggaruk garukkan badannya di atas sana.

"Hmm sepertinya kereta ini tidak akan melewati gunung apalagi mendaki gunung, melainkan akan menyelami laut menuju sebuah samudera. Samudera yang tak pernah di temukan sebelumnya, samudera yang penuh bintang-bintang kejora. Samudera di mana Dewa Ruci bersemayam dan bertemu Werkudara, pernahkah kau mendengar ceritanya?"

"Hah, kenapa bisa begitu, apakah betul itu, kepala stasiun tidak bilang seperti itu kepadaku, kepala stasiun tidak bilang kereta ini akan menuju laut apalagi samudera yang luas itu."

"Jangan kau tanya kepada kepala stasiun, tanya saja nanti kepada masinis bertopi manis yang duduk di lokomotif sambil menjaga kedua matanya untuk terus menyala selama dalam perjalanan."

"Ia begitu paham mengartikan belokan, tanjakan serta turunan dan tahu bagaimana menciptakan gelombang tarikan roda kereta mulai berjalan."

"Kamu yakin mas, masinis tahu soal itu, tahu kereta ini akan menuju."

"Pasti hanya masinis yang tahu kereta ini akan berjalan ke mana, mendaki gunung atau menyelami laut, menuju samudera luas.

Kamu bangkit dan membetulkan letak jaketmu lalu kembali duduk, kepalamu tak lagi bersandar di bahu, wajahmu kini tepat di wajahku kedua tanganmu memegang ke dua tanganku. 

Dan jam di stasiun ini masih saja membisu, menempel kaku di dinding, jam itu hanya bergerak ketika angin menggelitikkan punggungnya dari belakang. Namun jarumnya tak pernah benar-benar tepat menunjukkan pukul berapa, ia begitu bingung untuk menentukan hal kecil semacam itu. 

Jam itu terlalu lama menunggu, malah lebih resah dari sekedar menunggu, ia lebih dari menunggu. Ia menunggu apapun yang tak pernah orang-orang tunggu. Dan pagi ini langit nampak murung termangu.

Semakin lama semakin banyak calon penumpang masuk ke dalam stasiun, wajahnya ada yang merah, ada yang biru, ada jug yang terbakar, ada pula yang mengantuk dan menahan pilu.

Mereka sibuk menarik-narik koper bawaannya entah apa isinya yang pasti bukan isi pikiranku apalagi pikiranmu, banyak juga yang membawa tas ransel seperti kita, seperti anak-anak sekolah. 

Buah tangan, minuman dan makanan ringan ada di dalam tas-tas berwarna terang yang mereka pegang namun segenap rindu dan kenangan ada di dalam saku belakang. 

Di lipat bersama tiket perjalanan kereta dan kita mendudukinya. Di dalam stasiun anak-anak kecil menjadi tumbuh dewasa dan orang tua menjadi ahli berbicara soal apapun selain tentang kereta. 

Sebentar lagi kereta datang, menurut jadwal yang tertera di tiket perjalanan, cetakkan hurufnya samar-samar bahkan seringkali mengandung pertanyaan. 

Calon penumpang mempersiapkan dirinya, pengumuman berbunyi tak hanya lewat speaker stasiun namun juga dari teriakan burung-burung gereja, dari teriakkan para petugas kebersihan serta para tukang angkut barang yang rajin tersenyum yang mempunyai angka di punggungnya.

Kita di gerbong empat sayang dekat kereta makan, jangan dulu beranjak dari bangku, tunggu kereta benar-benar berhenti toh kita tidak akan kehilangan apapun dari buru-buru itu.

Semua sudah di jadwal dan di tentukan waktunya, bangkunya pun sudah tertuliskan nomor kita, bagaikan sebuah hidup semua sudah ada yang mengatur, tinggal duduk dan nikmati perjalanannya sambil duduk mengantuk.

Persoalan kereta ini nanti akan mendaki gunung atau menyelami laut bagiku sama saja, sama-sama jalan menuju pulang, pulang ke rumah, pulang ke tempat asal, pulang di mana kita di temukan. 

Handy Pranowo

05042021

Kebayoran Lama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun