Di bangku stasiun kita duduk berdekatan, kepalamu jatuh luruh di bahu sebelah kiri dan matamu memandang jauh ke depan ke sebuah gunung yang kemarin malam baru saja kita tempuh puncaknya.
"Mas, jam berapa keretanya datang? apakah keretanya masih jauh? apakah nanti keretanya akan melewati gunung? mendaki gunung?"
Aku tak langsung menjawab pertanyaanmu yang bertubi-tubi itu sampai selesai aku mendengar burung-burung gereja riuh berkicau, di dalam stasiun lalu terbang lagi ke sebuah gerbong kosong di ujung stasiun lalu menggaruk garukkan badannya di atas sana.
"Hmm sepertinya kereta ini tidak akan melewati gunung apalagi mendaki gunung, melainkan akan menyelami laut menuju sebuah samudera. Samudera yang tak pernah di temukan sebelumnya, samudera yang penuh bintang-bintang kejora. Samudera di mana Dewa Ruci bersemayam dan bertemu Werkudara, pernahkah kau mendengar ceritanya?"
"Hah, kenapa bisa begitu, apakah betul itu, kepala stasiun tidak bilang seperti itu kepadaku, kepala stasiun tidak bilang kereta ini akan menuju laut apalagi samudera yang luas itu."
"Jangan kau tanya kepada kepala stasiun, tanya saja nanti kepada masinis bertopi manis yang duduk di lokomotif sambil menjaga kedua matanya untuk terus menyala selama dalam perjalanan."
"Ia begitu paham mengartikan belokan, tanjakan serta turunan dan tahu bagaimana menciptakan gelombang tarikan roda kereta mulai berjalan."
"Kamu yakin mas, masinis tahu soal itu, tahu kereta ini akan menuju."
"Pasti hanya masinis yang tahu kereta ini akan berjalan ke mana, mendaki gunung atau menyelami laut, menuju samudera luas.
Kamu bangkit dan membetulkan letak jaketmu lalu kembali duduk, kepalamu tak lagi bersandar di bahu, wajahmu kini tepat di wajahku kedua tanganmu memegang ke dua tanganku.Â