Sore itu di sebuah perkampungan nelayan padat penduduk nampak deretan perahu-perahu kayu terikat tali di tepian dermaga, langit cerah, matahari menampakan kelembutan cahayanya. Dari kejauhan suara keceriaan anak-anak terdengar, mereka asyik bermain layang-layang di sebuah tanah kosong yang tak cukup lebar, canda tawa mereka pecah bersama debur ombak yang menampar sisi dermaga.Â
Di tempat ini bau amis sangat menusuk hidung di tambah lagi aroma air laut yang terkontaminasi limbah pabrik di sekitaran rumah penduduk, hal ini sangat mengganggu kesehatan.Â
Jarang sekali masyarakat di kampung ini perduli mengenai kebersihan lingkungan. Aroma tak sedap itu di bawa angin berputar-putar masuk ke sudut-sudut gang perkampungan dan orang-orang di sana menghirup udaranya. Mereka sudah terbiasa.
Di tempat seperti inilah Sabar tinggal bersama keluarganya, ayah, ibu dan kakak perempuannya. Mereka menempati rumah kayu semi permanen yang tepat menghadap ke lautan. Keluarga Abidin hanyalah potret sebagian kecil kehidupan nelayan yang jauh dari kata mapan, namun mereka tetap menggeliat, mencoba terus bertahan, mengarungi gelombang kehidupan.
Mereka bukanlah keluarga yang hidup di lingkar zona nyaman dan itu hampir terjadi di semua keluarga yang tinggal di perkampungan nelayan ini. Mereka selalu berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terburuk sekalipun dan karena itulah mereka dapat bertahan.
Abidin sendiri sebagai nelayan turun temurun dari keluarga ayahnya yang tinggal di kota Tegal lalu hijrah ke kampung nelayan pinggiran ibukota Jakarta bersama paman dan beberapa sanak saudaranya beberapa puluh tahun yang lalu.Â
Abidin menikah dengan seorang wanita yang dulunya penjaja kue dan gorengan keliling di sekitaran kampung nelayan. Pernikahan Abidin di karuniai dua anak, laki-laki dan perempuan. Riska dan Sabar. Ia begitu berharap kepada pemerintah setempat untuk terus membantu para nelayan-nelayan kecil, kesejahteraan hidup nelayan masih sangatlah rendah bahkan bisa dikatakan paling rendah, tunjangan kesehatan dan pendidikan sangat membantu mereka saat ini. Khususnya bagi anak-anak para nelayan.
********************
Sore itu, Sabar tengah termenung di teras kayu rumahnya, pandangan matanya tertuju ke arah laut, nanar dan sayu. Tubuh dan kepala anak itu di belai lembut angin laut yang datang tanpa henti.Â
Sesekali pandangan anak kecil kurus itu menengadah ke atas langit di mana sebuah layang-layang besar berbentuk perahu berwarna biru meliuk-liuk di mainkan angin. Kalau saja ia benar-benar telah sembuh mungkin ia akan memainkannya layangan besar tersebut. Ia tahu kepunyaan siapa layangan itu namun hati Sabar tengah di rudung gelisah, ia menunggu ayahnya yang belum juga kunjung datang sudah seharian ini melaut.
"Nak, ayo masuk, jangan angin-anginan dulu, kamu baru saja sembuh. Suara lembut itu terdengar dari dalam rumah, membuyarkan lamunan Sabar.
"Kapan ayah pulang bu ? " tanya Sabar.
"Sebentar lagi ayahmu pulang, ia akan bawa tangkapan ikan yang banyak.."
"Katanya kamu mau cepat sembuh dan bermain bola lagi bersama teman-temanmu, makanya ayo masuk nak.
Sabar tak bergeming masih saja di tempat duduknya. Tak lama deru suara mesin jahit pun terdengar. Sabar pun masuk ke dalam rumah.
"Aku sudah sembuh mak, aku ingin sekolah besok, tapi sepatuku rusak aku tak mau lagi pakai sepatu kakak, itu sepatu perempuan " Sahut Sabar lalu menghampiri ibunya yang tengah sibuk menjahit pakaian.
"Iya, tunggu ayahmu datang ya nak, kalo hasil tangkapan ikannya bagus pasti ayah belikan kamu sepatu baru, tapi ingat jangan kau pakai buat main bola lagi, tak lama pun pasti rusak.
Tiba-tiba dari luar rumah terdengar suara perempuan memanggil.
"Yat, Yati "
"Iya bu, masuk saja sini ke dalam.
"Pakaianku dah jadi belum, jangan telat ya buat hajatanya pak Lurah minggu depan loh." Sahut bu Ida istri seorang tokoh di kampung nelayan ini.
Keluarganya mempunyai banyak kapal, tempat pelelangan ikan pun ia yang mengurusnya. Selain itu Ibu Ida juga salah satu penggerak PKK bagi istri-istri para nelayan. Memberikan penyuluhan kesehatan dan keterampilan.
"Iya bu, ini pun sedang di kerjakan." Sahut Yati sambil terus mengerjakan jahitan baju bu Ida.
"Sabar udah sembuh Yat, kok dia tak memakai baju sih."
"Katanya gerah bu dan ini Alhamdulilah sudah mendingan."
Percakapan itu terus berlanjut hingga turunnya senja, Sabar masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuh kecilnya. Ia membayangkan ayahnya datang dan segera membelikan sepatu baru untuknya. Sabar duduk di kelas tiga sekolah dasar negeri yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
Matahari kian redup, sekelompok burung-burung putih terlihat terbang pulang menuju ke sarang, lampu-lampu jalan di pinggiran dermaga mulai di nyalakan, riuh lalu lalang orang semakin ramai begitu pula dengan sepeda motor yang kini kian banyak seliweran memadati jalan kecil yang belum lama di cor beton.Â
Akhirnya kesampaian juga mereka punya jalan yang bagus dan tak berlubang, sebuah program pemerintahan daerah setempat bagi peremajaan jalan-jalan kampung nelayan agar lebih nyaman di lewati.
********************
Di hari ke dua Sabar tetap menunggu ayahnya pulang, masih di depan teras rumah kayunya duduk termenung namun ibunya belum juga memperbolehkan ia untuk bermain, penyakit demam berdarah yang di derita Sabar hampir saja merenggut nyawanya, hampir tiga minggu lamanya Sabar di rawat di rumah sakit umum daerah.Â
Program biaya kesehatan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah sangat membantu keluarga yang tidak mampu. Sabar ingin bertemu dengan teman-temannya di sekolah, ia tak sabar bermain bola di lapangan dekat rumahnya. Ia berdoa setiap waktu agar ayahnya pulang segera.
Ibunda Sabar berprofesi sebagai penjahit rumahan, sebelumnya ia hanya penjaja kue dan gorengan keliling. Ketrampilan menjahit ini di dapat dari program ibu-ibu PKK, Yati sangat di siplin dan selalu hadir dalam setiap acara pelatihan kursus menjahit, ia berpikir untuk ke depannya dapat membantu perekonomian keluarganya, ia sadar pendapatan suaminya sebagai nelayan masih belum cukup memenuhi kebutuhan rumah tangga di jaman sekarang.Â
Alhamdulillah dari hasil menjahit perekonomian keluarga mereka sedikit membaik, Yati rajin dan giat, sebulan ia bisa mendapatkan orderan menjahit dua atau tiga baju, Yati tidak sendiri ia di bantu oleh anak perempuannya.
Tepat di hari ke tiga saat saat adzan subuh baru saja usai, terlihat dua perahu kayu yang cukup besar ingin bersandar di dermaga, Abidin pulang bersama rombongan nelayan lainnya. Suara-suara gaduh terdengar di pinggiran dermaga menyoraki kedatangan mereka yang telah kembali pulang. Hasil tangkapan ikannya lumayan banyak, dari beberapa jenis ikan yang biasa ada di pasaran.
Ikan Tongkol, teri, kerapu, ikan layur, cumi-cumi dan lainnya.
"Kau kemana saja Abidin, ku kira kau telah lenyap di terjang ombak " sahut seorang lelaki tua yang sibuk membantu menurunkan hasil tangkapan ikan.
Abidin tertawa dan berkatalah ia.
"Kami memang di terjang ombak tapi kami ini adalah nelayan dan kami hidup di lautan " sahut Abidin berbangga ria.
"Kapal kami sempat mogok kemarin maka kami agak telat pulang, untung ada kapal TNI yang membantu memberikan bahan bakar " sahut pemuda bertato yang paling besar di antara awak kapal lainnya.
Setelah turun semua hasil tangkapan ikan dari perahu lalu di bawalah ke tempat pelelangan yang tak jauh dari sana. Abidin menyerahkan semua tanggung jawab penjualan kepada salah seorang kerabatnya. Abidin ingin cepat pulang ke rumah, ia rindu kepada anak bungsunya, ia telah berjanji untuk membelikannya sepatu.
Bergegaslah Abidin menyusuri gang tepian dermaga menuju ke rumahnya, hatinya riang penuh bahagia. Ia bayangkan bau aroma tubuh istrinya, ia bayangkan wajah cantik anak pertamanya dan ia bayangkan anak lelakinya yang akan memeluk tubuh lelahnya. Anak lelakinya yang sangat di harapkan menjadi penerus hidup keluarganya.
Handy Pranowo
060918
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H