Langit merah di ujung dermaga, kepalan angin menumbuk di dada.
Tubuhku bersandar di tepian waktu yang tersisa, jiwaku di penuhi gelisah.
Aku bertanya, di manakah akhir perjalanan panjang sedang langit tanpa batas
kerap kali memberikan harapan-harapan.
Dunia terus berputar menggandeng tanganku untuk tetap berjalan menapaki tiap sunyi, tiap bayang,
kenangan, kesenangan, kerinduan.
Dan lihatlah kerling cahaya memantul berkilauan di tengah ombak yang tenang.
Lalu burung-burung pulang mengetuk pintu-pintu sarang mereka memasuki waktu yang damai penuh kerinduan.
Kali ini tak ada pemberontakan dalam hatiku kecuali gelisah yang ingin berdamaiÂ
dengan harapan-harapan yang tenggelam.
Dan aku mencium aroma nafas Tuhan yang di bawa angin dari arah selatan, seperti aroma bunga terumbu karang
maka kusesalkan pernah mengkhianatinya di tengah kegelapan.
Oh laut yang tenang, ombak yang damai, tak nampak lagi garis penghalang kecuali batas cakrawala tempat matahari menutup mata.
Dan aku antara ada dan tiada mengambang di tengah percikan air yang merah berkilauan.
Telah ku lipat semua mauku dan ku lemparkan ke tengah lautan maka ketenangan seperti apa lagi yang dapat ku bandingkanÂ
selain ketenangan bersamamu ya Tuhan.
Langit merah di ujung dermaga pada akhirnya pun hilang di telan malam.
Tak ada lagi aku, tak ada lagi siapa-siapa kecuali Tuhan yang tengah asyik melukis bintang-bintang
Handy Pranowo