Pandanglah tengkukmu, sebelum menjilat kata-kata yang meludah di dada yang kau busungkan.Â
Di sana, di punggungmu, barisan kalimat melarat dari ibu bahasa yang pernah melahirkanmu menjadi ambigu,Â
nyatanya kamu tak pernah menjadi dewasa, kamu seperti kehilangan arah sebab cawan di hatimu penuh dengan ambisi.Â
Kamu terlihat menggeliat perkasa namun rapuh dalam jiwa.Â
Kamu pribumi atau non pribumi itu sama saja, lahir di dunia ini menjadikan kita memilih antara kanan dan kiri,Â
tetapi aku, aku tak akan mau di gerakan oleh siapapun apalagi harus bertentangan dengan batinku sendiri.
Akal sehatku adalah bentuk kewajaran yang terus ku olah, ku jaga dalam tiap baitnya. Â
Agar selalu waras dalam bertingkah laku dan aku tak mau mengingkari hati nurani.
Sekali lagi, pandanglah tengkukmu sebelum menjilat kata-kata yang meludah di dada yang kau busungkan.
Kekuasaan tak akan lagi berharga bila hanya untuk menipu mata.
Ini tanah bukan lagi medan pertempuran tumpah darah, ini tanah buat orang-orang yang mencintai kedamaian.
Ini tanah buat orang-orang yang rela berkorban demi nusa dan bangsa, tanpa pandang suku, ras atau agama.
Maka jangan kotori tanah ini dengan kemunafikan dan hayalan yang ujung-ujungnya hanya untuk kekuasaan semata.Â
Lalu irama lagu apa lagi yang akan kau dendangkan.
Apakah irama perang permusuhan ataukah irama damai persahabatan
Dan aku tak ingin tenggelam dalam keheningan saja,Â
di mana kamu saat ini bermain air comberan yang keruh dan bikin gatal.
hp & nt
101117
