Luka ini masih saja menyisakan nyeri di lambung ingatan.Â
Ketika langit memerah dan asap perang mengepul hitam.
Aku terjaga di baris depan dengan moncong senapan, tak gentar sedikitpun,Â
mataku saling bertatap dengan malaikat maut yang akan merenggut nyawa musuh.
Setiap perlawanan meminta sesosok muda nan tangguh menjadi sesaji suci berkafan merah putih.
Tak rela jiwa ini membiarkan tanah tumpah bumi pertiwi di injak-injak
Dan di medan laga, dengan jiwa-jiwa yang tak regang nyawa.Â
Jengkal demi jengkal, hasta demi hasta, perjuangan seumpama mencintai apa yang telah tertancap di dada, untuk tanah air tercinta.
Rindu nafas merdeka yang dibawa ke sana kemari, terempas di dera bayu yang melingkupi tubuh ibu pertiwi.Â
Luka-luka yang menganga, pedih perih kan kubawa mati, sebab penawar telah tawar sebelum sembuh benar.
Dan lihatlah pada garis cakrawala di sana bara api membara, jauh lebih terang dari cahaya senja,Â
sanggup membakar seluruh kebatilan mereka, membuat gentar dan takut, maka tak sedikitpun tabuh genderang perlawananku padam.
Membara dan membara, membias di bentang cakrawala, menebar hangat di tubuh penuh luka.
Enyahlah!
Enyahlah!
Enyahlah kau penjajah!
Durja kuasa dan penindasan kau lelehkan hingga melukai ibunda tercinta.Â
Aku tak terima, dengan tetes air mata, dan keringat merajai dada aku melawan.
Dan barisan doa-doa mengunjungi istana paling suci di hati untuk selalu tetap tegar.Â
Memaksa kepulangan hati tak bernyawa. Membangunkan pejuang tanah tumpah darah lewat sumpah yang tak ingin dianggap sampah.
Dan sajak ini kutulis saat sesak menyeruak di dada, namun ku tak ingin berduka sebab halnya perjuangan,
tiap tetes darah tak akanlah sia-sia.
Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!
Jogja_Jakarta, 040817
hp,sa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI