Namun ini sudah pagi nyatanya, bulan di angka dua tenang mengapung sesekali mengajakku berbicara,Â
langit malam belum berubah, tepat di depan lampu merah sepasang bocah terlihat bercengkerama, menyeret-nyeret mimpinya ke tengah jalan.Â
Dan angin membawanya ke sebuah tempat tanpa alamat, tempat yang sulit mereka bedakan perih atau nikmat.
Sedangkan aku hanya bisa menatap tanpa bisa memberikan jawaban buat mereka, jawaban yang tepat.
Gedung-gedung tinggi pencakar langit, gedung perbelanjaan nomor wahid di selatan jakarta nampak bisu meski dengan kelap-kelip cahayanya.Â
Namun aku melihatnya biasa saja, apa karena aku tidak terbiasa atau karena memang tak cukup mapan untuk bisa berada di sana.Â
Aku lebih suka yang sederhana, pasar malam dengan komedi putar tanpa alat pengaman serta para pengunjung dengan wangi parfum murahan.
Lalu entah mengapa aku memikirkan sebuah puisi dapat ku tulis di plang penunjuk jalan, jikalau nanti aku tersesat aku tahu kemana arah pulang.Â
Ah, tentu saja itu hal yang bodoh, banyak orang yang akan mencibirku nanti terlebih puisiku hanya berupa gaun-gaun sepi yang lusuh di siram gerimisÂ
tanpa arah kompas tanpa titik berhenti. Bulan masih saja mengapung menemaniku menuju pulang, ku bakar sisa rokokku yang terakhir sambil terus ku putar ulang lagu favoritku.
Wild Horses, Rolling Stones