Jalan nampak lengang tak bersuara, di sepikan cahaya lampu temaram.Â
Kabut tipis menyeringai bangkit dari kegelapan, ke dua tangannya memeluk apa saja yang di lewatinya.
Sementara sisa-sisa kehidupan mengantuk di pinggir jalan ingin segera berada di ranjang, meski dengan persoalan yang belum sempat di tuntaskan.Â
Persoalan yang seringkali membuat mereka lupa terlelap dan melupakan pagi.
Sementara aku menjadi asing, menempuh jalan menuju pulang semacam lupa arah dari suatu tempat yang akrab di kenal.Â
Terlebih lagi, aku tak mengenali nama penyanyi dari lagu yang sering ku dengar melalui tape mobilku sepanjang perjalanan.Â
Yang ada di pikiranku hanyalah sebuah trotoar tempat di mana aku harus berhenti dan memulai.Â
Berhenti dari kecemasan masa silam, memulai segala apa yang di harapkan.
Tapi aku baik-baik saja, tidak mabuk, tidak pula mengantuk, apa mungkin karena kabut meninggalkan jejaknya di hatiku hingga membuatku kalut.Â
Ku buka sedikit jendela kaca mobilku, kupersilahkan angin mengelus keningku, dalam setiap perjalanan ada yang mesti di bawa namun ada pula yang mesti di tinggal.Â
Dan aku menghayati setiap tikungan dan kebimbangan perempatan jalan yang di jaga pemuda-pemuda recehan.
Namun ini sudah pagi nyatanya, bulan di angka dua tenang mengapung sesekali mengajakku berbicara,Â
langit malam belum berubah, tepat di depan lampu merah sepasang bocah terlihat bercengkerama, menyeret-nyeret mimpinya ke tengah jalan.Â
Dan angin membawanya ke sebuah tempat tanpa alamat, tempat yang sulit mereka bedakan perih atau nikmat.
Sedangkan aku hanya bisa menatap tanpa bisa memberikan jawaban buat mereka, jawaban yang tepat.
Gedung-gedung tinggi pencakar langit, gedung perbelanjaan nomor wahid di selatan jakarta nampak bisu meski dengan kelap-kelip cahayanya.Â
Namun aku melihatnya biasa saja, apa karena aku tidak terbiasa atau karena memang tak cukup mapan untuk bisa berada di sana.Â
Aku lebih suka yang sederhana, pasar malam dengan komedi putar tanpa alat pengaman serta para pengunjung dengan wangi parfum murahan.
Lalu entah mengapa aku memikirkan sebuah puisi dapat ku tulis di plang penunjuk jalan, jikalau nanti aku tersesat aku tahu kemana arah pulang.Â
Ah, tentu saja itu hal yang bodoh, banyak orang yang akan mencibirku nanti terlebih puisiku hanya berupa gaun-gaun sepi yang lusuh di siram gerimisÂ
tanpa arah kompas tanpa titik berhenti. Bulan masih saja mengapung menemaniku menuju pulang, ku bakar sisa rokokku yang terakhir sambil terus ku putar ulang lagu favoritku.
Wild Horses, Rolling Stones
Bocah-bocah kecil kini duduk diam di trotoar menyambut subuh yang sebentar lagi datang membawa benang-benang merah kehidupan.Â
Maka dalam hati aku berharap sisa waktu yang sedikit ini dapat ku bagi.Â
Kepada yang menciptakan keheningan, kepada kabut-kabut perjalanan, kepada lampu-lampu temaram.Â
Lalu kepada perempuan yang menungguku nanti di pintu gerbang.Â
Selamat malam
handypranowo
Pondok Indah, Selatan Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H