Bersama angin yang berhembus pelan, remang-remang kabut muncul dari keheningan.
Tak menjelma bidadari, tak menjelma malaikat.
Percikkan cahaya kunang-kunang di balik kehampaan ilalang mengecohkan penglihatanku yang semakin buram.
Dan kini ku rasa tubuhku terbakar sinar bulan, panas, gesang.
Rokok yang ku hisap tak lagi muntahkan asap, baranya yang merah membakar sajak-sajakku dalam gelap.
Sulit sekali ku cerna gerimis yang jatuh saat ini yang beberapa waktu lalu terasa manis.
Dan tanpa payung meneduhi raga, aku berjalan sendiri menuju lorong yang di penuhi dengan angka-angka jarum jam.
Bergerak cepat namun tak searah mereka saling berbenturan.
Wangi-wangi rindu tak tercium, dupa-dupa cinta tergolek tanpa bara, mahligai dunia terlihat bagai tirai-tirai kusam.
Tanpa nafas, tanpa suara, tanpa kata-kata dan tak ada kehendakku kecuali kehendakNya.
Aku tak lagi mempunyai telinga, aku tak lagi mempunyai mulut.
Dan di dalam ruangan ini, ku lihat bayanganku menangis sedih.
Tiba-tiba aku menatap wajah ibu, aku menatap wajahnya yang penuh pilu.
Tak lama kemudian ia menghilang, meninggalkan butiran air mata yang penuh berwarna merah.
Aku mengiranya itu darah, ya memang benar itu darah.
Darahku yang keluar dari rahimnya.
Handy Pranowo
070317
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H