“Tapi kamu tak akan bisa berziarah di bukit kunang-kunang di kotaku kan? ujarnya dengan nada meninggi.
Kamu terdiam, rasanya aku ingin marah dengan diriku sendiri. Membandingkan kotaku dengan kotamu, padahal aku iri dengan kota kelahiranmu. Tak hanya kaca yang berembun, tetapi juga karena bukit kunang-kunang yang menjadi alasannya.
Ada semacam larangan warga di kotaku untuk berkunjung ke bukit kunang-kunang. Jangankan berkunjung, berbicara tentang bukit tersebut adalah hal tabu dan bisa-bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran adat. Bila ada penduduk di kotaku yang pergi ke tempat itu tak pernah bisa kembali. Kalo pun ada yang berani kembali dari tempat itu, niscaya ia dikucilkan dari pergaulan di lingkungan kota, kehilangan mata pencaharian, dan ditinggalkan orang-orang terkasihnya. Ada yang bilang ia dikutuk oleh kunang-kunang. Penduduk kotaku ditakuti oleh cerita-cerita seram tentang bukit itu, hingga tak ada yang pernah mau menceritakannya dan kalau pun ada adalah hal-hal yang berbanding terbalik dengan apa yang diceritakan oleh ibuku.
Dahulu saat aku masih kecil, ibuku—yang berasal dari kota yang sama dengan Lia—mengatakan bahwa bukit kunang-kunang adalah tempat yang paling indah di kota kelahirannya. Ada bunga lily, ada pohon cemara, ada gemerisik angin yang membelai padang ilalang nan luas, dan tentunya kunang-kunang yang muncul setiap malam. Namun ada suatu hal yang menyedihkan namun tak pernah kudengar dari orang lain, yakni tentang kematian.
“Dahulu adalah sepasang kekasih yang tengah jatuh cinta, mereka selalu menghabiskan waktu di bukit itu. Namun suatu ketika sang perempuan yang notabene penduduk dari kota ibu itu mati. Warga kota menyalahkan si laki-laki—yang lahir di kota yang sama dengan ayahmu. Sang laki-laki itu pun dihantui oleh duka mendalam. Ia pun menangis hingga lemas. Air matanya habis, dan akhirnya mati tenggelam dalam banjir kenangan. Sejak itulah bukit tersebut dihiasi kunang-kunang. Itulah cinta Hasna. Cinta membuat segalanya indah, meski harus dibangun dari kesedihan” ujar ibu.
Hal ini pun senada dengan ceritamu, Lia. Katamu bukit kunang-kunang selalu menjadi sebuah tempat yang wajib untuk disinggahi oleh warga kotamu. Tempat tersebut menjadi monumen yang sempurna untuk mengenang percintaan. Ada pengorbanan, ada tragedi, ada ketegaran tersaji di dalam tempat tersebut. Sedari kecil penduduk kota sudah didoktrin untuk merayakan kegetiran. Menyiasati diri untuk segera melupakan semua sedih, semua duka, semua rindu. Tak ada cara lain selain melupakan dan menghilangkan apa-apa yang sudah dilewati selama ini. Mungkin kamu bersembunyi di sana dan aku tak mungkin bisa kesana.
Perpisahan ini, duka ini, jujur saja sudah membuat kantong yang aku bawa hari ini terisi penuh olehmu tanpa harus aku mencari-cari lagi. Kota ini selamat, kehidupan berlanjut tanpamu walau bukan dengan air mata.
@handyfernandy