“Lia, kamu tidak percaya apa yang aku ceritakan?”
“Aku nanya, kok kamu balik nanya?”
“baiklah, iya memang ada julukan yang disematkan kepada kedua orang tuaku”
“Apa-apa? Ayo dong cerita”
“Ayahku dijuluki Lelaki Dilipat Bayangan, lalu ibuku adalah Penari Hujan”
“Wkwkwkwkwkwk”
Harus aku akui, aku cemburu. Kita dilahirkan di kota yang berbeda yang berarti memiliki perbedaan kultur dan budaya. Kotamu selalu dibasahi oleh hujan hingga kaca-kaca di gedung-gedung tinggi, di rumah-rumah penduduk, di kantor urusan agama, di penjara dan setiap tempat yang memiliki kaca selalu berembun.
“Ibuku selalu membuat dongeng dari kaca yang berembun di kamarku sewaktu aku masih kecil” begitu katamu bergantian bercerita. “Dengan jari-jarinya, Ibuku selalu mengisahkan tentang bintang-bintang yang menangis karena di tinggal oleh sang rembulan” lanjutmu.
“Kamu pasti iri dengan kota kelahiranku yang selalu dihiasi oleh rembulan” pancingku.
“Sesuatu yang abadi itu menyebalkan, Has kamu tau kalo kehidupan ini fana” balasnya.
“Kamu juga pasti iri dengan keabadian pelangi di kota kelahiranku itu, iya kan Lia?” ujarku tak mau mengalah.