“Tak apa, anakku sayang.” Jawabnya lirih. “Ibu sebenarnya sedih setiap kali melihatmu, nak.” Sambungnya.
“Lalu kenapa ibu selalu bersedih?” Jawabku.
“Ibu kasihan melihatmu, seharusnya diusiamu yang masih muda ini kamu bisa hidup bahagia. Tapi, ibu hanya bisa berbuat seperti ini. Maafkan ibu ya nak.” Ucapnya dengan suara yang kian lama kian parau.
“Tak apa bu, ibu sudah melakukan segala yang terbaik demi aku. Aku senang kokbu.” Ucapku.
Ibu menatapku dengan pandangan yang sayu, aku tahu bahwa ibu benar – benar sedih saat ini.
“Nak, jika kelak ibu telah tiada, kamu harus bisa jaga diri ya. Kamu harus bisa hidup mandiri. Kamu harus selalu bisa menjadi orang baik dan berguna, ya nak.”
“Bu, kenapa ibu berkata seperti itu?” Tanyaku heran namun terlarut dalam kesedihan.
“Setiap manusia pasti akan meninggal, nak. Ibu ingin menemani kamu hingga kamu dewasa. Ibu ingin melihat kamu sukses dan bahagia. Ibu sangat sayang kamu, nak.” Ucapnya sambil memeluk erat diriku.
Ibarat hari yang selalu berganti, siang berganti malam, terang berganti gelap. Demikian juga hidupku ini.
Tiga bulan berlalu semenjak percakapanku dengan ibu malam itu. Ketika aku pulang dari sekolah, aku melihat banyak orang yang berkumpul di sekeliling rumahku.
“Ada apa ini?” Gumamku heran.