Mohon tunggu...
Dannu W
Dannu W Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Natural Talent

Suka nulis, fotografi, bersepeda, kadang nongkrong sambil ngopi kalau gak ada ganti teh anget

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ditampar Keras Tepat di Wajah

30 Oktober 2015   15:02 Diperbarui: 30 Oktober 2015   15:16 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak punya impian ? Pasti setiap orang memiliki impiannya masing-masing. Termasuk saya sendiri. 
Menceritakan sedikit pengalaman tentang impian, kemarin siang saya dan rekan kerja bermaksud untuk mencari 'sesuap nasi' setelah dari rutinitas harian. Maklum, kantor yang tidak menyediakan kantin maka pegawainya harus mencari sendiri kantin itu untuk memenuhi kebutuhan perutnya. 

Akhir bulan bagi beberapa pegawai swasta mungkin waktu yang cukup menyenangkan. Keringat satu bulan digantikan oleh bulir-bulir nyata yang tersimpan aman di "lemari besi". Ketika penuh, tandanya lidah ini akan bergoyang lagi oleh cita rasa yang hanya dapat dirasakan pada tanggal tertentu.

Saya dan rekan saya itu memutuskan untuk mencoba memanjakan lidah di salah satu restoran yang hampir semuanya menyajikan makanan berbahan iga sapi. Kami memutuskan untuk berjalan kaki karena jika menggunakan kendaraan roda dua tidak memungkinkan untuk membawa tiga muatan sekaligus. Selain itu jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami bekerja.

Singkat cerita kami bertiga sudah sampai dan masing-masing memesan apa yang sudah dibayangkan sedari tadi. Saya hanya memesan iga bakar bumbu pedas waktu itu dengan minuman jus alpukat. Sambil menunggu makanan yang dipesan datang, kami bertiga berbincang "kesana kemari". Hingga pada satu pembicaraan mengenai kendaraan roda empat. 

Rekan kerjaku yang lebih tua yang kerap aku panggil dengan sebutan "aa", ia berencana akan mengganti ponselnya bulan depan karena ponsel sekarang memori nya terlalu kecil. Meskipun masih bisa dipakai tapi katanya performanya tidak sebagus yang sekarang.

Satu lagi rekan kerjaku yang kerap aku panggil "bray" lebih ekstrim lagi. Ia ingin membeli satu perangkat komputer baru. Untuk gaming atau hanya sekedar iseng saja melakukan perombakan PC (personal komputer) disana sini

Kalau saya sendiri, saya bilang ingin punya mobil. Supaya tidak kepanasan ketika panas. Tidak kehujanan ketika hujan, dan mungkin saya akan lebih bahagia jika punya kendaraan roda empat ketimbang roda dua yang saya miliki saat ini.

Hingga pembicaraan kami terhenti ketika ada dua pelanggan restoran yang duduk tepat dibelakang meja tempat kami duduk.

Satu seorang pria yang usianya sudah "berumur" dan satu lagi anak remaja yang mungkin masih kelas 6 SD atau kelas 1 SMP. 

Saya tidak sengaja mendengarkan si pria yang sudah berumur itu berbisik kecil pada anak remaja yang menggunakan rok panjang dengan kerudung putih itu. "Sok neng pilih anu neng hoyong" (Silahkan nak pilih yang disukai). 

Ternyata mereka ayah dan anak. Itu yang aku duga karena si anak perempuan memanggil pria itu dengan sebutan "bapa" (ayah dalam bahasa sunda). Terlihat rekan-rekanku sedang asyik mengunyah makanan mereka. Tak ingin ketinggalan, aku juga ikut menyantapnya. Dan anak perempuan yang disebelah ku itu tidak juga memilih makanan yang ada dalam menu. Entah bingung, atau entah memang ia tidak suka. 

Hingga si bapak itu memanggil pelayan resto. Dengan berbisik ia bertanya, "kang anu enak nu mana ?" (yang enak yang mana ?)

"Sadayanan enak bapa. Menu andalan mah iga bakar na bapa" (Semuanya enak pak. Menu andalannya iga bakar). - kata pelayan.

"Sabaraha pangaosna sapiring ?" (Berapa harganya satu piring ?) - tanya si Bapak.

"Tujuh puluh lima rebu pa. Teu acan sareng minuman na" (75 ribu, belum termasuk minumnya)  - kata pelayan.

Saya tidak tahu ia pesan berapa tapi yang pasti si pelayan mengambil menu dan berjalan menuju meja counter. Aku dengan lahap menikmati iga yang ada dihadapanku. Tak lupa menambah kecap dan sedikit sambal supaya lebih nikmat. Tak lama datanglah pelayan yang tadi dengan satu piring makanan dan dua gelas minuman. Satu gelas air tawar dan satu nya lagi jus jeruk(mungkin karena warnanya oranye). Aku tak melihat pelayan itu meletakkan dimana tapi yang pasti ia meletakkannya di meja sebelahku. Ya, di meja ayah dan anaknya itu. 

Kami cukup lama disana, meskipun makan sudah habis. Maklum jam istirahat masih cukup lama. Hingga satu ketika aku tak sengaja mendengar anak perempuan yang disamping mejaku berkata, "Pa moal emam ?" (Pak gak akan makan ?) - tanya anak itu.

"Moal ah wareg, sok weh seepkeun ku neng" (Tidak sudah kenyang, silahkan habiskan sama neng). - kata bapa itu.

Kulihat si bapak hanya minum sedikit air tawar di mejanya. Ia juga memberi isyarat pada anaknya untuk menghabiskan makanan serta jusnya. 

Tak lama si bapa pergi ke arah kasir. Aku melihat dari kejauhan ia mengeluarkan uang dari sakunya. Entah berapa yang ia bayar tapi yang jelas ia hanya membayar satu menu saja. 

Tak lama ia dan anaknya keluar dari restoran. Kami bertiga juga sepertinya tidak lama lagi akan mengikuti jejak mereka berdua. Karena waktu sudah hampir menunjukkan jam 1 siang. 

Aku sendiri menghabiskan setidaknya 90 ribu untuk makan waktu itu. Tidak ada kata menyesal waktu itu karena baru saja mendapatkan gaji. Hingga ketika aku keluar dari restoran, kudapati bapak dan anaknya yang tadi sedang sibuk membetulkan posisi jok belakang sepeda mereka. Dan saya masih bisa melihat tawa canda diantara mereka berdua. Entah rekan kerjaku memperhatikan atau tidak, aku tak peduli. Kami bertiga melewati si bapa itu yang masih menaikkan anak perempuannya di jok belakang sepedanya. Aku tak tahu apakah mereka orang yang benar-benar "tidak punya" atau orang "berada" yang iseng hanya pesan satu menu lantas mengelilingi kota dengan sepeda yang dimodifikasi sedemikian rupa untuk menampung dua orang. Saya tidak ingin men-judge terlalu cepat. 

Tapi yang jelas dalam hati, "Ya Allah, kenapa mereka bisa bahagia dengan hal bisa dibilang 'sangat sederhana'. Bahkan saya sendiri terlalu...melihat keatas dan cenderung lupa atas hal yang saya miliki."

Dalam keadaan yang bermegahan Allah menampar saya kalau bahagia tidak harus selalu makan mewah atau punya mobil mengkilat. Itu hanya gengsi saja. Nafsu. Dan tipu daya semata. Apa yang saya dapat dari pelajaran itu ?

Saya mendapatkan bahwa, bahagia bukan diukur dari apa yang kita miliki. Tapi dari apa yang kita berikan.

Saya menyimpulkan seperti itu karena dari raut wajah si bapa yang bersinar. Mungkin ia tidak bisa mencicipi iga yang nikmat itu tapi ia bisa mencicipi wajah anaknya yang cemerlang ketika mengunyah makanan yang disajikan diatas meja. Mungkin si bapak hanya bisa mengendarai sepedanya, tapi ia bahagia anaknya dengan tawa ikut dibelakangnya. Mungkin impian besar telah menanti di hari esok tapi ia waras betul kalau hidup itu terjadi hari ini.

So, enjoy your life

-----

Saya tidak sempat mengenal bapak dan anaknya itu, 
tapi terima kasih atas pelajaran berharganya.

Bandung, 30 oktober 2015 | Ilustrasi : Sumber di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun