Mohon tunggu...
Dannu W
Dannu W Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Natural Talent

Suka nulis, fotografi, bersepeda, kadang nongkrong sambil ngopi kalau gak ada ganti teh anget

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Punten" dan "Mangga" yang Sudah Terlupakan

24 Oktober 2012   14:50 Diperbarui: 29 September 2020   20:02 16851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau orang Sunda, pasti tahu dengan kebiasaan mengucapkan "punten" atau jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia artinya "permisi". Biasanya ucapan itu diucapkan oleh siapa saja ketika lewat di hadapan orang lain, ketika menyuruh seseorang untuk mengambilkan sesuatu, atau ketika ia mengunjungi kediaman seseorang.

Selain yang saya sebutkan tadi, masih banyak hal-hal yang diterapkan dengan kata-kata "punten" atau "permisi".

Dan, jawaban dari kata "punten" adalah "mangga". Di sini bukan mangga dalam artian buah mangga yang tumbuh di kebun atau terdapat di pasar. Mangga di sini jika diartikan dengan bahasa Indonesia artinya bisa "silakan", "lanjutkan", atau jawaban positif seperti "ya".

Punten-Mangga, dalam Sunda sudah merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dipisahkan.

Punten itu merupakan sebuah kosakata yang memiliki arti luas dalam Bahasa Sunda. Bisa berarti meminta izin, menolak sebuah ajakan, pengantar untuk menanyakan sesuatu, dan melambangkan orang yang sopan.

Contohnya :
A : Punten Mas, tahu alamat ini?
B : Mangga, oh alamat ini? Punten saya tidak tahu!
A : Oh, iya gak apa-apa Mas. Punten ganggu, Mangga B.
B : Iya, Mangga A!

Dari dialog di atas, banyak dikatakan kata Punten - Mangga. Punten yang pertama digunakan untuk sapaan yang sopan bagi orang Sunda, kemudian pada kata "punten saya tidak tahu", di sini mengatakan bahwa B merasa menyesal karena ia tidak mampu membantu A. 

Kemudian Mangga yang pertama menunjukkan si B menyambut kedatangan A, dan punten ke dua si A meminta izin untuk pergi, Mangga ketiga merupakan jawaban bahwa si B mengizinkan A untuk pergi.

Punten-Mangga dulu, dengan sekarang sudah berbeda. Karena dulu, orang tua selalu menitipkan pesan kalau kita jangan pernah lupa menggunakannya di manapun berada. Karena itu yang menunjukkan diri kita seberapa tinggi tingkat penghargaan kita pada orang lain.

Tapi sekarang, menemukan orang yang mengatakan punten ketika mereka lewat, atau ketika orang itu meminta bantuan kita rasanya sulit sekali. Bahkan jika kita mengucapkan punten, mungkin agak sulit juga menemukan yang menjawab mangga.Kenapa itu terjadi? 

Mungkin pertama, karena pergeseran budaya yang sudah kebarat-baratan. Sehingga mereka merasa malu ketika mengucapkan apa yang diucapkan oleh para pendahulunya dulu. Merasa malu karena menganggap budaya punten-mangga merupakan budaya kuno.

Kedua, anggapan bahwa tidak perlunya mengucapkan punten-mangga. Padahal sudah disebutkan bahwa itu budaya asli Indonesia khususnya tatar Sunda yang mencerminkan derajat diri kita mengenai makna sebuah penghargaan.

Ketiga, sudah lunturnya rasa hormat antar sesama. Mungkin ini yang terjadi sekarang. Dulu, saya merasa malu ketika lewat di hadapan orang yang lebih tua tanpa mengucapkan punten.

Hingga sekarang, saya merasa malu jika tidak mengucapkan itu. Tapi sekarang, rasanya orang-orang sudah hampir meninggalkan punten-mangga.

Kita lihat untuk beberapa tahun mendatang, apakah punten-mangga masih akan digunakan bagi orang-orang tatar Sunda di sekitar hidupnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun