Mohon tunggu...
handrini
handrini Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

world are wide, but there's only small spot to make a mistake, Be wise, get grow, so can mature at the same time. be wise it's not easy eithout make wisely as a habit

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memoar Pierre Andreas Tendean

30 September 2019   09:55 Diperbarui: 30 September 2019   13:36 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Sebuah Kumpulan Memori Hati-Hati Yang Mengasihi Kunang-Kunang Pemberani yang wafat di Dini Hari

Wahai PKI... pria yang kau tembak itu adalah buah hati kesayangan Ibunya, adik terkasih kakaknya dan kakak tersayang bagi adiknya serta calon suami yang telah dinanti sepenuh hati....

30 September, tahun demi tahun adalah suatu hari yang begitu menyayat hati bagi hati-hati mereka yang mengasihi pria muda kelahiran 21 Februari 1939 itu.

Bisakah kita bayangkan perasaan hati seorang Ibu yang mengetahui putra kesayangan mendapat perlakuan yang keji dan tewas di hari kelahirannya? Itulah yang dialami Mami Pierre Andreas Tendean, Maria Elizabeth Cornet, di hari ulang tahunnya 30 September 1965 silam. 

Jika biasanya, putra kesayangan itu selalu menyempatkan diri pulang menemuinya di rumah kediaman keluarga mereka di Jl.Imam Bonjol No.172, Semarang -- namun tidak pada hari itu. Patah hati teramat dalam hingga duka yang menghujam, menyebabkan kesehatan wanita yang kehilangan putra kesayangannya itu menurun drastis hingga terus menerus sakit-sakitan. 

Tak hanya itu, meski sebenarnya layaknya seorang Ibu yang tentu menyayangi kesemua putri dan putranya, namun kehilangan sosok putra penyayang lagi penuh perhatian dengan cara yang keji tentu tiada mudah diterima ibu mana pun juga. 

Akibatnya, Mitzi -- kakak kandung Pierre -- harus menerima ketika Ibunda terkasih marah, memaki dan menghujat serta menyalahkannya. Sebab, Mitzi-lah satu-satunya orang dalam keluarga yang berani mendukung Pierre masuk militer. 

Padahal seluruh keluarga menentangnya. Ibunda Pierre ingin Pierre menjadi insiyur. Sedang Sang Ayah berharap Pierre mewarisi profesinya sebagai dokter.

Lantas bagaimana kepergian Pierre, adik yang penuh kasih bagi Kakak tersayangnya Mitzi? Kedekatan diantara keduanya jelas tidak diragukan lagi. Karena Mitzi-lah yang berani mendukung keputusan Pierre untuk masuk militer sesuai harapannya. 

Untuk mendukung suatu keputusan seorang adik -- menentang keinginan ayah dan ibu mereka -- jelas sebuah bukti kedekatan diantara keduanya. 

Bagaimana perasaan seorang Kakak yang harus menerima kematian adiknya Pierre sebagai konsekuensi profesinya, bagaimana perasaan seorang anak ketika harus menerima dicaci dan dimaki serta disalahkan Ibundanya karena dukungannya terhadap cita-cita adik kesayangannya untuk masuk militer bukan sesuatu hal yang mudah tentunya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun