Namun, begitulah sosok Mitzi yang tangguh lagi penyayang. Mitzi dengan setia mendampingi Ibundanya di rumah sakit bersama Rooswidiati -- adik tersayang Pierre.Â
Ketika Ibunda berpulang, keduanya pun memenuhi amahan Ibundanya, untuk menutupi jenazahnya dengan selimut yang biasa dipakai putra kesayangannya Pierre Andreas Tendean.
Bagi Ibu Rooswidiati, adik kandung Pierre Andreas Tendean dalam Buku Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam, menuliskan seksama dengan hati, untaian memori demi memori.Â
Bagaimana kenangan yang tiada akan pernah dia lupakan bersama sang Kakak yang begitu mengasihi dan melindungi serta mendukungnya. 2 Juli 1965 -- dua bulan sebelum kematian kakak tersayangnya, keduanya saling berpandangan dalam waktu lama.Â
Pierre, selaku kakak, waktu itu bertanya, apakah sudah siap untuk berumahtangga. Kemudian Pierre memberikan nasehat . Roos pun menangis di dada Pierre. Roos yang kala itu memutuskan menjadi mualaf, sementara keluarganya adalah umat kristiani yang taat pun menangis.Â
Pierre pun berkata kepada suami Roos, Jusuf Razak, "Mas, aku titip adiiku dan tolong jaga dia." Duhai.... Alangkah penuh peyayang lagi melindungi sosok Pierre kepada adik satu-satunya itu. Bahkan, ketika adiknya akan menikah, Pierre memberikan sejumlah uang yang dibungkus Koran kepada Sang Ibu, "Mami, ini sumbangan saya untuk pernikahan Ross."Â
Dan ketika dibuka didalamnya adalah uang dalam dollar yang jumlahnya sangat besar. Amboi.. alangkah bertanggungjawabnya Pierre sebagai kakak. Betapa hancur adik yang selama ini disayangi dan dikasihi serta dijaga segenap jiwa ketika mendengan kepergian Kakak tercinta yang dianiaya dan dibunuh dengan keji adalah satu memori hati yang tiada terperi.
Lantas bagaimanakah remuknya hati Rukmini, Gegap gempita dan bahagianya hati tatkala sang kekasih hati melamarnya 31 Juli 1965 kepada orangtuanya, ditemani seorang Jenderal Abdul Harris Nasution, mendadak luluh lantak -- berganti dengan kesedihan yang teramat dalam.Â
Bahkan, sebagaimana dikisahkan Mitzi -- sang kekasih hatinya pun sempat melihat sebuah pavilion di Jalan Jambu yang konon dikontrakkan, sebab Pierre telah menyiapkan dengan matang pernikahannya yang rencananya akan dilaksanakan November 1965.Â
Bahkan, masih menurut Mitzi, Pierre diam-diam mengerjakan pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan dan sopir traktor yang bertugas memeratakan tanah di Monas kala itu untuk dapat membeli televisi. Maklum, televisi di jaman itu adalah sebuah barang yang mewah.
Bagaimana patah hatinya hati seorang ayah, ketika putranya dianiaya dan dibunuh oleh mereka yang membuatnya cacat? Mungkin tak banyak yang tahu, kala bertugas sebagai dokter di Magelang, keluarga Pierre diserang dan dirampok oleh sisa-sisa gerombolan PKI Madiun yang lari ke Magelang di tahun 1948. Dokter Aurelius Lammert Tendean dibawa oleh gerombolan PKI sisa-sisa pemberontak Madiun kala itu.Â