Bersyukur. Hari ini masih bisa memanfaatkan layanan berbasis aplikasi. Dari Palmerah sampai Sudirman, tertera ongkos yang harus dibayar 21K. Sempat panik, karena tempat tujuan terlewat. Namun mendadak saya tersenyum "saya kan naik grabcar.. bukan taksi". Artinya, saya tidak perlu terugikan gara-gara tempat tujuan tidak sengaja terlewati. Ongkos yang harus saya bayar tetap 21K meski kita harus berputar cukup jauh.
Rasa syukur saya adalah masih dapat menikmati layanan yang murah dan nyaman dari grabcar. Sebelumnya sempat cemas layanan transportasi yang sesuai kebutuhan itu bakal langsung ditiadakan. Sempat bertanya-tanya ketika Senin 14 Maret 2016 mendadak lalu lintas lancar sekali. Semula saya pikir hanya angkutan M 11 dan M 09 yang mogok. Ternyata mogok masal. Dampaknya sangat signifikan. Perjalanan ke kantor sangat cepat dan lancar. Entah siapa penyokong dan pengeraknya. Namun tentu dengan mata pikiran kita bisa membaca siapa yang mensponsori gerakan mogok masal itu. Hasilnya sukses besar. Setidaknya bagi pengusaha angkutan entah itu taksi maupun angkot. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan telah memberikan rekomendasi ke Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir dua layanan transportasi berbasis aplikasi.Â
Bagi saya sendiri tentu berita buruk. Sangat buruk. Bagi penguna layanan angkutan, kemudahan mengunakan order berbasis aplikasi dengan harga yang murah dengan kapasitas penumpang lebih banyak bila dibanding dengan taksi tentunya saya merasa berpikir bagaimana "menyelamatkan" layanan berbasis aplikasi.
Terlebih bagi ibu-ibu yang harus memutar otak untuk mencukupkan uang tiap bulannya sementara keperluan untuk pergi bersama keluarga tak terelakkan. Jumlah anak saya 3 dan tentunya sangat berdesakan jika mengunakan taksi. Selain itu layanan taksi pun jauh dari cepat bila dibanding dengan layanan berbasis aplikasi. Tak hanya itu batas minimal pembayaran pun jauh lebih menyesakkan karena di taksi pemanggilan via tilp Rp.40.000,- sedang dengan layanan berbasis aplikasi minimal Rp.10.000,- Sangat jauh selisihnya bukan?
Agak aneh jika Menteri Perhubungan justru mengusulkan pemblokiran aplikasi yang snagat bermanfaat bagi penguna transportasi berbasis aplikasi kepada Menkominfo tanpa mempelajari mekanisme pengelolaan bisnis dari grabcar dan grabtaxi guna memberikan layanan publik yang lebih memuaskan. Panik karena demo besar-besaran sih masuk akal tapi meningkatkan kualitas layanan dan pembinaan untuk layanan taksi dan angkutan umum yang sudah ada sebelum layanan berbasis aplikasi itu juga wajib. Bukankah salah satu kewajiban Menteri Perhubungan adalah menyediakan transportasi publik yang murah, nyaman dan aman?
Persaingan ekonomi dalam usaha jangan sampai membias dan merugikan masyarakat. Setidaknya saya sebagai penguna (awal) grabcar merasa harus "menyelamatkan" grabcar demi keselamatan saya sendiri. Jika aplikasi itu ditutup, bagi saya yang bekerja dan kadang hingga malam hari bagaimana harus pulang dengan ongkos yang memadai (cukup dengan rupiah yang saya dapatkan dari bekerja?). Jika mengunakan taksi bakalan nombok, sementara jika mengunakan angkutan kota tidak dilewati angkutan kota saat sudah malam hari. Jadi dimanakah letak tanggungjawab pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan transportasi? Bukankah selayaknya pemerintah memikirkan bagaimana caranya memberikan layanan yang bagus dan murah untuk masyarakat?
Dalam konteks pelayanan publik, saat ini pelayanan publik yang baik mengikuti harga pasar. Artinya, secara otomatis masyarakat akan lebih memilih layanan dengan harga yang lebih bersahabat dengan kualitas yang lebih baik. Disitulah letak keunggulan dari layanan berbasis aplikasi. Jadi dari sisi teori pelayanan publik pemerintah harus mempertimbangkan kepentingan dan berdiri di sisi publik sebagai penguna juga.
Dari sisi keamanan, jelas lebih memberikan rasa nyaman. Karena begitu kita order langsung ada indentitas pengemudi lengkap dengan plat nomer lebih dulu sebelum kita menaikinya. Jadi lebih mudah dilacak bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dari segi keuntungan bagi penguna, sangat jelas. Penguna tidak perlu khawatir jika dibohongi atau diambil jalan yang memutar karena ongkos sudah ditetapkan dengan mengukur jarak tujuan. Jadi, jika terjadi kelalaian dari pengemudi misalnya terlewatkan lokasi tujuan, ongkos akan tetap karena ada ukuran yang jelas.
Karenanya, perlu dipikirkan pemerintah khususnya kementerian perhubungan, adalah bagaimana belajar dari antusiasme masyarakat terhadap keberadaan layanan transportasi berbasis aplikasi adalah tentang standar kepuasan dari penguna. Jika memang layanan angkutan umum yang ada sebelum layanan berbasis aplikasimerasa terpengaruh dan tersaingi penghasilannya, mengapa pemerintah tidak berusaha mengajak mereka untuk berinovasi dan berusaha agar masyarakat memilih mengunakan layanan mereka? Bukan justru "menghapus" sesuatu yang memang dibutuhkan dan banyak membantu masyarakat penguna transportasi? Apabila ada ketentuan negara lain yang harus dipenuhi, ada baiknya itu dikaji dan ditetapkan tanpa merugikan masyarakat yang seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah.
Keberadaan layanan berbasis aplikasi meski hanya baru sesaat saya nikmati telah banyak bermanfaat dan memberikan kemudahan. Entah bagaimana lagi cara menyelamatkan apa yang memang menjadi kebutuhan bagi saya itu agar tidak dipaksa menghilang atau menaikkan biaya layanan secara signifikan. Jika layanan transportasi bisa mengadopsi metode dan tata cara layanan transportasi berbasis aplikasi dalam memenuhi kepuasan penguna, tentu penguna juga tidak akan segan untuk mengunakan mereka.Â
Yang pasti, saat ini saya masih bersyukur dengan adanya layanan berbasis aplikasi. Tak hanya mengantar, juga memesan berbagai makanan yang diantar dengan cepat dan murah. Semoga pemerintah bisa dengan bijak menetapkan keputusan serta pengaturannya. Pemerintah semoga pula dapat memberikan pemahaman dan menertibkan semua penyedia transportasi agar dapat memenuhi kebutuhan publik. Bukan sekedar membuat macet jalanan karena enggan tertib dalam beroperasi. Yang tergambar dalam benak adalah lautan hijau angkutan di stasiun Bogor atau deretan angkutan yang berjajar di tikungan lampu merah menuju pasar Paalmerah sebagai sebuah pekerjaan rumah yang tak jua terselesaikan untuk menertibkannya.Â
Penetapan batas minimum pembayaran order pertilp atau penjemputan dengan pemesanan taksi yang ditetapkan penyedia layanan jasa tranportasi pun menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk mengkajinya. Bagaimanapun ada sejumlah kepentingan yang harus diseimbangkan, pajak untuk negara, pengusaha, masyarakat yang membutuhkan lapangan pekerjaan, masyarakat penguna transportasi hingga pemakai jalan. Semoga pemerintah bisa dengan penelitian dan pengkajian yang komprehensif bisa mengambil jalan terbaik untuk semuanya. Bagi penguna transportasi, tentu berharap kebijakan tersebut jangan sampai menurunkan kualitas dari layanan grabcar mulai dari sisi kemurahan hingga kenyamanannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H