Penghargaan Untuk Jompo, Senior, Sepuh, atau Lansia?
Oleh Handra Deddy Hasan
Julukan yang mengelompokkan orang dalam batas usia seperti "Gen Z"Â atau "Generasi Z" sangat populer karena mungkin generasi ini lahir sekitar pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an yang berkaitan erat dengan teknologi.
Popularitas Gen ZÂ dikarenakan generasi yang tumbuh dan dewasa di era teknologi digital yang pesat, di mana internet, media sosial, dan perangkat mobile menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari mereka.
Berbeda dengan julukan kelompok umur lanjut yang sudah mendekati akhir usia berdasarkan usia rata-rata masyarakat Indonesia, mendapatkan julukan macam-macam dan biasanya gagap teknologi (gaptek).
Untuk mensetarakan dengan julukan Gen-Z ada yang menyebut kelompok usia tua dengan Generasi Baby Boomers.
Generasi Baby Boomers merupakan istilah yang digunakan untuk kepada kelompok generasi yang lahir setelah Perang Dunia II, kira-kira antara tahun 1946 hingga pertengahan 1960-an.
Artinya saat ini, mereka telah berusia sekitar 60 tahun ke atas.
Istilah "Baby Boomers" sendiri berasal dari ledakan pertumbuhan populasi yang terjadi setelah Perang Dunia II di banyak negara, termasuk  Indonesia.
Ada julukan lain yang terkesan merendahkan, tidak berdaya, butuh pertolongan, sakit-sakitan, dilekatkan bagi kelompok yang mulai menua ketika diberi julukan seperti "jompo".
Hal tersebut terlihat dari penamaan panti-panti atau yayasan tempat tinggal dan merawat mereka dengan judul Panti Jompo.
Ada lagi julukan lain yang terkesan lebih terhormat dengan penuh apresiasi dengan memberikan julukan "senior" atau "sepuh".
Senior yang dimaksud disini bukan akronim dari singkatan senang istri orang tentunya, tapi dianggap sebagai sosok panutan dan dapat memberikan teladan serta nasihat yang berguna bagi usia dibawahnya (junior).
Sedangkan istilah "sepuh" sering digunakan sebagai bentuk penghormatan atau penghargaan terhadap orang yang lebih tua dalam budaya Jawa.
Kalau mau netral dan sesuai norma yang berlaku maka julukan yang pas adalah Lanjut Usia atau disingkat dengan Lansia.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (UU 13/1998) yang dimaksud Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) ke atas.
Julukan yang cenderung merendahkan dan menganggap Lansia tidak berdaya memang tidak etis dan pesimis serta tidak sesuai dengan kenyataannya.
Hal demikian perlu dibantah karena dalam kenyataannya berdasarkan hasil riset Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik Maret 2022 menunjukkan sebanyak 9,4 juta warga Lansia bekerja sebagai penopang keluarga.
Hebatnya lagi dari 9,4 juta tersebut, sejumlah 5,7 juta atau 61 % dari Lansia tersebut justru menanggung finansial Generasi produktif seperti Generasi milenial (lahir 1981-1996) dan Gen Z. (Kompas, Senin 3/6/2024).
Dengan demikian berdasarkan data statistik di atas dapat disimpulkan bahwa Lansia di Indonesia secara faktual tidak loyo bahkan berpartisipasi secara aktif dan signifikan dalam pembangunan negara Indonesia di ujung usianya.
Hak-hak Lansia Dan Implementasinya.
Sebagaimana kita ketahui, Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) yang diperingati setiap tanggal 29 Mei setiap tahun merupakan hari penanda  di mana negara Republik Indonesia ingin mengapresiasi Lansia.
UU 13/1998 mengamanatkan bahwa program atau kegiatan pembangunan
kesejahteraan sosial harus berorientasi pada peningkatan kesejahteraan
sosial Lansia, karena Lansia memiliki pengalaman, keahlian dan
kearifan untuk berperan serta (berpartisipasi) dalam pembangunan nasional.
Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia (PP 43/2004) telah mengatur tindak lanjut kesejahteraan sosial Lansia.
Sebagai penghormatan dan penghargaan diberikan beberapa hak kepada lansia untuk meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
Tulisan ini bukan ingin menyampaikan kecengengan Lansia untuk diperlakukan berbeda, namun ingin menuturkan hak-hak Lansia yang diatur dalam Undang-Undang sebagai penghormatan dan penghargaan.
Kesejahteraan Sosial yang merupakan hak-hak Lansia yang akan dibahas adalah masalah kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat yang kelihatan sepele, namun sangat berharga bagi Lansia sebagai bentuk apresiasi.
Salah satu item kesejahteraan sosial Lansia yang akan dibicarakan berkaitan dengan masalah kesehatan.
Walaupun kelompok Lansia saat ini sudah tercakup semuanya menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, namun dalam pelayannya masih banyak keluhan yang terjadi.
Misalnya dalam hal antri dan menunggu pelayanan kesehatan BPJS, tidak dibedakan orang biasa dengan kelompok Lansia.
Hal demikian yang kadang-kadang membuat Lansia malas pergi berobat ketika sakit karena membayangkan menunggu terlalu lama. Sehingga apapun rasa sakitnya ditahan dan berharap sakitnya sembuh sendiri.
Peningkatan pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 PP 43/2004 seharusnya dalam implementasinya dilaksanakan dalam tataran pelayanan yang detil dan memberikan kemudahan bagi Lansia.
Nyaris tidak ada kemudahan dan keringanan pelayanan BPJS Kesehatan kepada Lansia, dibandingkan dengan peserta lain, Â termasuk tidak ada keringanan khusus tentang biaya atau iuran BPJS Kesehatan.
Dalam kemudahan dalam pelayanan dan keringanan biaya pembelian ticket perjalanan untuk Lansia sebagai mana dimaksud Pasal 19 PP 43/2004 pihak Pemerintah lebih maju dibandingkan pihak swasta.
PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) telah lama menerapkan harga ticket khusus bagi Lansia dengan diskon 20 % dari harga normal.
Bahkan bagi Lansia yang punya Kartu Penduduk DKI Jakarta (KTP DKI) bisa mengurus agar bisa menikmati menggunakan Bus TransJakarta kemana saja secara gratis alias tidak membayar sama sekali.
Konon kabarnya fasilitas gratis naik TransJakarta ini makin berkembang yang mencakup dan diperuntukkan juga bagi Lansia seluruh Indonesia.
Pada jenis transportasi yang sama di Jabodetabek juga telah ada penghargaan buat Lansia dalam penggunaan sarana dan prasarana umum sesuai dengan amanat Pasal  20 PP 43/2004.
Di setiap gerbong Kereta Rel Listril (KRL) Jabodetabek dan Bus TransJakarta selalu tersedia beberapa tempat duduk khusus bagi Lansia.
Tempat duduk yang disediakan biasanya di bagian muka yang mudah diakses dan ditandai secara khusus bagi Lansia, wanita hamil dan bagi warga disabilitas maupun difabel.
Namun sering fasilitas tersebut diokupasi oleh orang biasa yang tidak beretika dan tidak paham aturan.
Tidak jarang di KRL, penumpang yang masih muda dan energik duduk di tempat duduk fasilitas Lansia dengan pura-pura tidur menggunakan masker dan menutupi seluruh wajahnya dengan topi.
Modus pura-pura tidur tersebut gampang terlacak yaitu lihat saja di halte mana penumpang tidak beradat tersebut turun. Pas ada tanda atau pengumuman tentang halte tujuannya dengan sigap penumpang tersebut akan bangun. Hal tersebut memperlihatkan penumpang nakal tersebut tidak tidur. Tidur hanya merupakan modus agar orang tidak mencoleknya agar tidak duduk di tempat yang seharusnya.
Pemerintah telah memberikan penghargaan bagi Lansia dengan pengadaan sarana dan prasarana umum berupa tempat duduk khusus di transportasi umum. Namun kadang-kadang masyarakat yang bandel menyerobot dan memanfaatkannya secara illegal.
Sebaiknya petugas KRL harus lebih sering berpatroli untuk mengantisipasi kejadian seperti ini. Kalau menyerahkan masalahnya kepada penumpang lain untuk menegur ada rasa sungkan dan lagi berpotensi untuk memancing keributan serta menimbulkan perkelahian antar penumpang.
Masalah pelayanan transportasi berupa keringanan bagi Lansia, belum merupakan yang umum berlaku di Indonesia. Setahu penulis belum ada pihak swasta yang meniru Pemerintah untuk memberikan pelayanan dan keringanan biaya bagi Lansia dalam menggunakan transportasi.
Namun sayangnya, penghargaan berupa keringanan biaya transportasi bagi Lansia tidak masif dan merata.
Antara Pemerintah dan swasta telah berbeda kebijakannya, begitu juga antara Pemerintah sendiri karena tidak semua Pemerintah Daerah yang mengelola transportasi umum menggratiskan para Lansia menggunakannya.
Berbeda dengan penghargaan keringanan biaya transportasi bagi Lansia, dalam penyediaan lapangan kerja pihak swasta (informal) jauh lebih unggul dibandingkan Pemerintah (formal).
Mayoritas warga Lansia di Indonesia bekerja di sektor informal yaitu sebanyak 7,3 juta Lansia atau 78,5 % dari total 9,4 juta Lansia yang bekerja (Kompas, Senin 3/6/2024).
Mungkin besarnya  serapan  tenaga kerja Lansia di sektor informal karena persyaratannya tentang masalah usia tidak terlalu kaku bila dibandingkan dengan regulasi usia bagi pekerja formal.
Beberapa bulan yang lalu unggahan mengenai lowongan kerja di sektor informal untuk lansia menjadi sorotan viral di media sosial.
Pada lowongan kerja disertakan beberapa persyaratan kualifikasi. Salah satu kualifikasinya yaitu berusia 60 tahun ke atas.
Lowongan kerja itu diunggah di Instagram @bogagroup_id pada Sabtu (20/4/2024).
Sebetulnya berdasarkan Pasal 42 PP 43/2004 ada reward (penghargaan) bagi masyarakat yang berperan dalam upaya peningkatan Kesejahteraan Sosial Lansia.
Masyarakat yang dimaksud disini bisa orang perorangan, keluarga, kelompok atau organisasi sosial.
Namun tidak disebutkan bahwa perusahaan bisa memperoleh reward tersebut.
Namun selain itu sayangnya reward tersebut hanya sebatas medali dan piagam penghargaan.
Apabila entity penerima reward dibolehkan Perusahaan dan rewardsnya tidak sekedar medali dan piagam, tapi sedikit diberikan insentif pajak misalnya keringanan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) maka mungkin pihak Perusahaan yang memiliki mall bisa berpartisipasi dengan berbagai cara.
Salah satu bentuk partisipasi perusahaan bisa dalam bentuk kemudahan dan kenyamanan parkir bagi pengunjung Lansia. Hal ini bisa dianggap sebagai kemudahan aksesibilitas berupa parkir ke tempat rekreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat b PP 43/2004.
Pada saat ini di mall yang padat pengunjung di Jabodetabek atau di kota-kota besar lainnya di Indonesia kadang-kadang sukar sekali menemukan tempat parkir ketika datang menggunakan mobil pribadi.
Di sisi yang lain secara khusus mall memberikan privelege bagi pengunjung-pengunjung tertentu dengan memberikan kemudahan parkir di area tertentu yang ditandai dan dijaga oleh petugas.
Ada yang privilege nya diberikan untuk menghormati dan mendahulukan kaum wanita dengan slogan "Ladies Only" atau mungkin mall kerja sama dengan otomotif merk-merk tertentu dengan misalnya "Toyota Vellfire Only". Dalam kejadian sebagaimana contoh tersebut maka pengemudi perempuan atau pengendara mobil Toyota Vellfire dengan mudah mendapatkan fasilitas parkir.
Seandainya perusahaan dirangsang dengan reward dan insentif pajak, maka diharapkan Pengusaha mall dengan senang hati akan memberikan tempat khusus parkir tersebut diperuntukkan bagi Lansia dengan tulisan tanda "Lansia Only".
Nampaknya PP 43/2004 yang merupakan aturan Pelaksana dari UU 13/1998 perlu diartikan dan diperbarui secara kreatif agar upaya peningkatan Kesejahteraan Sosial Lansia lebih update dan makin berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H