Foto Presiden Joko Widodo Menghilang Di Kantor PDI P
Oleh Handra Deddy Hasan
Memajang foto Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan Lambang Negara di Indonesia sudah sangat lazim dilakukan masyarakat Indonesia.
Hal tersebut akan ditemukan di kantor-kantor Pemerintahan, kantor-kantor resmi bahkan pihak swastapun tidak ketinggalan memajang Foto Presiden dan Wakil Presiden di dinding bergandengan dengan Lambang Negara.
Padahal memasang foto Presiden dan Wakil Presiden bukanlah suatu kewajiban yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU 24/2009).
Sebagaimana kita ketahui sampai saat ini, tidak ada satupun regulasi yang menegaskan Presiden sebagai simbol atau lambang negara Indonesia.
Kalau tetap dipaksakan mencari aturannya, paling dapatnya aturan yang sangat rendah levelnya dalam hirarki perundang-undangan Indonesia.Â
Sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang memaksa dengan kuat (imperative) dan berlaku hanya dalam lingkungan terbatas, bahkan hanya sebatas himbauan.Â
Artinya sangat lemah, boleh dilakukan dan juga tidak punya konsekwensi apa-apa, kalau tidak dilakukan.Â
Contohnya adalah SE Menpanrb 12/2014 yang mengimbau agar dilakukan langkah-langkah untuk melakukan pemasangan gambar resmi Presiden dan Wakil Presiden di lingkungan instansi masing-masing sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU 24/2009.
Atau selain itu terdapat juga himbauan lain berdasarkan SE Mendikbud 11/2019 yang mengimbau Kepala Satuan Pendidikan untuk memasang foto resmi Presiden dan Wakil Presiden di satuan pendidikan dengan ketentuan sesuai dengan ketentuan UU 24/2009.
Hal tersebut dikarenakan, berdasarkan konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945), Presiden bukanlah simbol atau lambang negara Indonesia.
Dalam Pasal 36A UUD 1945 yang dinamakan lambang negara Indonesia ialah Garuda dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Khusus bagi Garuda Pancasila yang merupakan Lambang Negara ada kewajiban memasang di setiap instansi pemerintahan dan kantor swasta, berdasarkan UU 24/2009.
Sedangkan untuk foto Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak ada kewajiban untuk memasangnya.
Negara Indonesia dikenal sebagai negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial.
Sehingga Presiden di negara Indonesia merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Jadi kebiasaan yang telah lama terjadi (konvensi) yaitu memajang Foto Presiden bersamaan dengan Lambang Negara merupakan  tradisi atau kebiasaan di masyarakat Indonesia dalam menghormati dan mengapresiasi kepemimpinan negaranya.
Pemasangan foto Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan Lambang Negara yang terdapat di institusi, kantor pemerintah, sekolah, atau tempat umum adalah sebagai bentuk dukungan dan penghormatan terhadap kepemimpinan negara.
Sehingga dalam hal apabila ada penghormatan demikian maka memasang foto Presiden bersamaan dengan Lambang Negara agar tidak kacau perlu diatur.Â
Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 55 UU 24/2009 tentang pemasangan dalam hal lambang negara ditempatkan bersama-sama dengan gambar presiden dan/atau gambar wakil presiden.
Dalam hal lambang negara ditempatkan bersama-sama dengan Bendera Negara, gambar presiden dan/atau gambar wakil presiden, penggunaannya diatur dengan ketentuan:
a. lambang negara ditempatkan di sebelah kiri dan lebih tinggi daripada bendera negara; dan
b. gambar resmi presiden dan/atau gambar wakil presiden ditempatkan sejajar dan dipasang lebih rendah daripada lambang negara.
c. Dalam hal bendera negara dipasang di dinding, lambang negara diletakkan di tengah atas antara gambar resmi presiden dan/atau gambar wakil presiden.
Kewajiban Memasang Lambang Negara.
Sebaliknya khusus untuk Lambang Negara ada kewajiban untuk memasangnya di tempat-tempat yang telah ditentukan.
Berdasarkan Pasal 51 jo. Pasal 1 angka 2 UU 24/2009, lambang negara yaitu Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika wajib digunakan di ;
a. dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan pendidikan;
b. luar gedung atau kantor;
c. lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara;
d. paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah;
e. uang logam dan uang kertas; atau meterai
Lebih lanjut, Pasal 53 ayat (1) UU 24/2009 menyebutkan bahwa penggunaan lambang negara di dalam gedung, kantor atau ruang kelas satuan pendidikan dipasang pada:
a. gedung dan/atau kantor presiden dan wakil presiden;
b. gedung dan/atau kantor lembaga negara;
c. gedung dan/atau kantor instansi pemerintah; dan
d. gedung dan/atau kantor lainnya yaitu gedung sekolah, kantor, perusahaan swasta, organisasi dan lembaga-lembaga.
Maksud dan tujuan Undang-undang mewajibkan memasang Lambang Negara agar bisa mengingatkan untuk menunjukkan rasa bangga sebagai bangsa.
Adapun fungsi dari penggunaan lambang negara di dalam gedung atau kantor adalah untuk menunjukkan kewibawaan negara yang penggunaannya dibatasi hanya pada kantor dinas.
Menurunkan Foto Presiden.
Ada kejadian aneh akhir-akhir ini yang terjadi di kantor partai PDI Perjuangan.
Misalnya di Ruang Rapat Koordinasi Kantor DPD PDIP Sumatera Utara di Jalan Jamin Ginting, Kota Medan, ada keanehan yang terdapat di dinding ruangan tersebut.
Di dinding ruanganan  tersebut yang biasa terdapat foto Presiden RI Joko Widodo, Wakil Presiden Ma'ruf Amin bersamaan dengan Lambang Negara, kali ini ada yang kosong. Yaitu absennya dipajang foto Presiden Joko Widodo di dinding ruangan rapat.
Menurut keterangan Wakil Ketua DPD PDIP Sumut, Aswan Jaya, foto Jokowi jatuh saat kegiatan pemasangan baliho dan belum sempat dipasang kembali.
Dalam portal berita yang sama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan tidak ada instruksi kepada kader untuk mencopot foto Presiden Joko Widodo di kantor daerah masing-masing.
Namun, menurut Hasto, apabila memang terjadi penurunan foto presiden Joko Widodo merupakan murni ekspresi kader partai.
Menurut Hasto, hal tersebut merupakan aksi protes atas berbagai bentuk dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Presiden selama Pemilu dan Pilpres 2024.
(CNN Indonesia Selasa, 07 Mei 2024 20:52 WIB)
Permasalahannya apakah aksi kader PDI Perjuangan ini telah mempertimbangkan baik buruknya tindakan tersebut, karena kabarnya tindakan ini telah masif terjadi di daerah-daerah.
Masalah menurunkan Foto Presiden di kantor-kantor dimana sebelumnya ada, apalagi membiarkan foto Wakil Presiden sendirian lebih bersifat etika dan konvensi ketimbang hukum yang jelas.
Secara hukum, tidak ada kewajiban wajib memasang foto Presiden bersamaan dengan Lambang Negara berdasarkan Undang-Undang  24/2009, maka secara teknis tidak ada pelanggaran hukum dengan mencopot foto Presiden. Anehnya foto Wakil Presiden tetap dibiarkan terpajang.
Namun demikian dalam tata krama dan norma-norma keelokan sosial bisa saja dianggap sebagai tindakan yang tidak sopan atau tidak hormat untuk menghilangkan foto Presiden dari tempat-tempat yang seharusnya menampilkan foto tersebut.
Sebagaimana kita ketahui suatu tindakan tidak sopan dan tidak sesuai dengan tata krama sosial beda tipis dengan penghinaan.
Jadi kasus ini tidak bisa steril juga dari masalah hukum. Sangat tergantung kepada persepsi untuk melihatnya.
Tindak pidana penghinaan ringan diatur dalam Pasal 315 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
 Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan, diancam karena penghinaan ringan dengan penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Dan apabila perbuatan tersebut disiarkan, ditransmisikan secara elektronik juga bisa dikenakan Pasal 45 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 selanjutnya Perubahan Kedua disahkan dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ancaman hukuman Pasal 43 ayat 3 UU ITE lebih berat.
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak memdistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus Lima puluh juta rupiah)
Menurut hemat penulis sebaiknya, sebelum mengambil langkah seperti ini sangat disarankan untuk mempertimbangkan implikasi sosial dan politik dari tindakan tersebut.
Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia yang digelar 18-21 Februari 2024 tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Joko Widodo sebesar.76,6 persen. Hasil survey berasal responden yang menyatakan pendapatnya cukup/sangat puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sampai saat ini Presiden Jokowi mempunyai penggemar dan pendukung yang cukup luas di tengah masyarakat Indonesia.
Memperlakukan foto Presiden Joko Widodo secara tidak pantas akan menciptakan polemik serta memancing  kemarahan pihak tertentu sehingga membuat situasi menjadi rumit serta tidak perlu.
Padahal pada saat ini negara Indonesia membutuhkan kondisi yang kondusif untuk menghadapi masalah global dan lokal yang bisa menghambat untuk mencapai Indonesia emas pada tahun 2045.
Terlepas dari apapun kesalahannya sejauh tidak bisa dibuktikan secara hukum dan politik, Joko Widodo sampai saat ini adalah Presiden Indonesia yang sah dan dipilih melalui mekanisme demokrasi Pemilihan Umum.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H