Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Dissenting Opinion Tiga Hakim MK dalam Putusan Sengketa Hasil Pilpres

23 April 2024   17:01 Diperbarui: 24 April 2024   07:22 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Arief Hidayat (kanan) memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat via KOMPAS.com

Dissenting Opinion Saldi Isra Dkk Dalam Putusan Sengketa Hasil Pilpres.

Oleh Handra Deddy Hasan

Dalam memutus suatu perkara yang disidangkan di Pengadilan terdiri dari Majelis Hakim. Majelis Hakim terdiri dari beberapa person Hakim.

Adapun yang dimaksud dengan hakim berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

Majelis Hakim biasanya terdiri dari person-person dalam jumlah ganjil, misalnya Majelis Hakim terdiri dari 3 (tiga) 5 (Lima), 7 (tujuh) orang Hakim dan seterusnya tergantung kepada kebijakan dan Jenis Pengadilan (Pengadilan Tipikor, Pengadilan Niaga Pengadilan Mahkamah Konstitusi dan lain-lain).

Pada dasarnya, jumlah hakim yang beracara pada saat persidangan itu disesuaikan dengan pengadilan tempat ia beracara dan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus yang mengaturnya.

Jumlah hakim saat memeriksa dan memutus perkara di pengadilan yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman:

 (1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Susunan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.

Dalam putusan perkara perselisihan perkara Sengketa Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kemaren pada tanggal 22 April 2024 dibacakan oleh terdiri dari 8 (delapan) orang Hakim.

Kenapa dalam perkara Sengketa hasil Pilpres 2024 Majelis Hakimnya genap (terdiri dari 8 orang) tidak ganjil? Sebetulnya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi ganjil, terdiri dari 9 orang Hakim (ganjil).

Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi  (UU MK).

Susunan Majelis  MK itu sendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU MK terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.

Namun oleh karena salah satu hakim konstitusi Anwar Usman dihukum oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak boleh menyidangkan perkara Pilpres, maka akhirnya dengan terpaksa jumlah Majelis Hakim MK yang menyidangkan sengketa hasil Pilpres hanya 8 (delapan) orang.

Suatu kelumrahan jumlah majelis hakim dalam suatu pengadilan diatur berjumlah ganjil untuk mencegah terjadinya kebuntuan (deadlock) atau keputusan imbang dalam proses pengambilan keputusan. Dengan memiliki jumlah yang ganjil, maka akan lebih mudah bagi Majelis Hakim untuk mencapai mayoritas suara dalam memutuskan suatu kasus.

Ketika jumlah majelis hakim genap, misalnya empat hakim, ada kemungkinan terjadinya kebuntuan (deadlock) karena hasil voting yang imbang (dua banding dua). Apabila hal ini terjadi, maka akan menyulitkan Majelis  Hakim dalam mencapai keputusan yang jelas dan tegas.

Dalam hal terjadi kebuntuan (dead lock) karena hasil voting berimbang, maka biasanya Keputusan diserahkan sepenuhnya kepada pendapat Ketua Majelis Hakim. Keputusan demikian walaupun sah tentunya tidak menunjukkan Keputusan Pengadilan yang solid dan kuat.

Dengan adanya  memiliki jumlah majelis hakim yang ganjil, seperti lima hakim, maka kemungkinan terjadi keputusan imbang tidak akan pernah terjadi.

Dalam kasus 8 Hakim Majelis Hakim MK dalam sengketa hasil Pilpres kemaren terdapat potensi kebuntuan (deadlock) dimaksud. Ada kemungkinan pendapat Hakim berimbang menjadi 4 lawan 4, walaupun kenyataannya akhirnya perbedaan pendapat terjadi antara 5 melawan 3, sehingga terjadi putusan mayoritas.

Selain itu, memiliki jumlah majelis hakim yang ganjil juga membantu dalam proses pengambilan keputusan dengan mayoritas suara yang solid, sehingga keputusan yang dihasilkan dapat dianggap lebih mewakili dari pandangan mayoritas hakim yang terlibat dalam kasus tersebut.

Dalam proses pengambilan keputusan, majelis hakim biasanya melakukan musyawarah ketika membahas untuk  mencapai suatu putusan perkara yang sedang dihadapi. Setiap hakim memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya dan berdiskusi dengan hakim lainnya sebelum akhirnya mencapai keputusan bersama.

Jika terjadi perbedaan pendapat di antara hakim-hakim yang tergabung dalam majelis, biasanya proses musyawarah akan terus dilakukan untuk mencari titik temu atau kesepakatan yang paling memungkinkan secara ideal.

Jika kesepakatan tetap tidak dapat dicapai walau sudah dilakukan usaha maksimal, maka keputusan akhir akan diambil melalui pemungutan suara (voting). Sehingga akhirnya keputusan diambil berdasarkan mayoritas suara dari Majelis Hakim yang ada. Jumlah suara yang diperlukan untuk menetapkan sebuah keputusan sebagaimana yang telah kita singgung di atas sangat bervariasi,  tergantung Jenis Pengadilan dan pada aturan yang berlaku.

Pada akhirnya, setelah diskusi terus-menerus dan kemudian akhirnya dilakukan  pemungutan suara, majelis hakim akan mencapai keputusan akhir yang dianggap sebagai keputusan resmi dalam kasus tersebut. Dengan demikian pendapat yang minoritas dari Majelis Hakim hanya sebatas catatan dari putusan yang resmi tersebut (dissenting opinion).

Saldi Isra, salah satu Hakim yang membuat dessenting opinion sumber gambar photo dan ilustrasi Viva
Saldi Isra, salah satu Hakim yang membuat dessenting opinion sumber gambar photo dan ilustrasi Viva

Setiap Hakim Mandiri Walaupun Berada Dalam Suatu Majelis Yang Sama.

Meskipun para hakim dalam satu majelis telah memeriksa alat bukti yang sama, mendengarkan saksi, saksi ahli yang sama, menggunakan hukum yang sama, dan menghadiri persidangan yang sama, tetap saja mungkin terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.

Ada kemungkinan beberapa alasan yang menyebabkan perbedaan pendapat di antara hakim-hakim dalam satu majelis. Salah satunya adalah interpretasi hukum yang berbeda pada setiap individu hakim. 

Meskipun hukum yang digunakan sama, interpretasi terhadap hukum tersebut bisa berbeda antara hakim-hakim. Perbedaan pemahaman terhadap aturan hukum tertentu bisa menyebabkan perbedaan pendapat dalam menerapkan  hukum tersebut dalam kasus tertentu.

Meskipun setiap individu hakim memeriksa alat bukti dan fakta-fakta kasus yang sama, namun bisa saja seorang hakim lebih menekankan faktor-faktor tertentu yang dianggap penting berdasarkan pandangan atau perspektif hukum mereka.

Hal seperti ini bisa menyebabkan penilaian yang berbeda dalam menentukan misalnya dalam membuat keputusan akhir. 

Kadang -kadang munculnya perbedaan perspektif Hakim muncul secara spesifik, misalnya terpengaruh dari Amicus Curiae atau opini yang disampaikan oleh pihak ketiga. Banyak pihak yang meremehkan Amicus Curiae karena tidak dikenal dalam Peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Padahal Amicus Curiae bisa saja memperluas wawasan dan perspektif dari seorang Hakim dalam membuat suatu keputusan. Hal demikian sah-sah saja karena berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Hakim wajib menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Selain dari pada itu sebagaimana kita pahami, setiap individu hakim memiliki pendidikan, pengalaman dan latar belakang yang berbeda, yang dapat memengaruhi cara mereka melihat dan menganalisis kasus. Perbedaan ini bisa menyebabkan perbedaan pendapat dalam memahami dan menilai kasus yang sama.

Misalnya kita ambil contoh salah satu Majelis Hakim yang memeriksa perselisihan perkara Pemilihan Presiden 2024, Saldi Isra, sebelum menjadi hakim konstitusi, beliau adalah seorang guru besar (profesor) hukum tata negara di Universitas Andalas Padang Sumatera Barat. Sepanjang karier akademisnya, beliau menerima beberapa penghargaan sehubungan dengan upayanya melawan korupsi di Indonesia.

Sebagai pembanding dengan latar belakang yang berbeda misalnya Hakim lain dalam Majelis yang sama Ridwan Mansyur yang mempunyai latar belakang sebagai Hakim karir. Beliau memulai karirnya sebagai calon hakim pada Pengadilan Negeri Bekasi pada tahun 1986. Selanjutnya beliau menimba ilmu baik di dalam maupun diluar negeri, sehingga membuat kariernya berlanjut secara berjenjang menjadi Hakim, Ketua Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Tinggi sampai Ketua Pengadilan Tinggi.

Kemudian pada tanggal 3 Oktober 2023 beliau terpilih menjadi Hakim Konstitusi dari unsur yudikatif (Mahkamah Agung) dan dilantik per 9 Desember 2023. 

Perbedaan pendidikan dan pengalaman demikian bisa membuat perbedaan seorang Hakim dalam memahami dan mengalisis  kasus yang sama.

Setiap hakim juga mungkin memiliki pendekatan hukum yang berbeda dalam menyelesaikan suatu kasus.

Ada Hakim yang mempunyai faham teoritis formal, namun ada juga Hakim yang pendekatannya lebih kepada substansi keadilan.

Pendekatan hukum yang berbeda bisa menghasilkan penilaian yang berbeda pula dalam kasus yang sama. 

Dalam sistem peradilan, perbedaan pendapat di antara hakim dalam satu majelis adalah hal yang lumrah dan tidak aneh bahkan merupakan bagian dari proses hukum yang demokratis.

Perbedaan pendapat ini bisa memperkaya diskusi hukum, mempertimbangkan berbagai sudut pandang, dan menghasilkan keputusan yang lebih matang dan berkualitas.

Dissenting Opinion.

Konsekuensi dari perbedaan pandangan Hakim yang mandiri dan demokratis dalam suatu Majelis akan menimbulkan putusan yang tidak bulat atau dikenal dengan putusan dengan catatan dissenting opinion.

Dissenting opinion merupakan pendapat terpisah atau pendapat minoritas yang dikeluarkan oleh sebagian hakim dalam suatu Majelis hakim yang memutuskan suatu perkara. 

Ketika sebuah pengadilan memutuskan suatu kasus, setiap  hakim-hakim yang ada dalam Majelis memiliki hak dan  kesempatan untuk menyampaikan pendapat mereka mengenai kasus yang sedang ditangani.

Dalam sebuah kasus di mana hakim-hakim tidak mencapai kesepakatan atau mayoritas dalam keputusan, hakim yang tidak sependapat dengan mayoritas bisa mengeluarkan dissenting opinion. Pendapat minoritas ini akan  menjelaskan mengapa hakim tersebut tidak setuju dengan mayoritas dan memberikan argumen hukum yang mendukung pandangan yang menurut mereka benar.

Bagi pihak yang sinis dan pesimis akan melihat dissenting opinion sebagai bentuk kenihilan dan kepura-puraan (hipokrit) yang tidak perlu. Bagi mereka sehebat apapun pertimbangan hukum dissenting opinion tidak berguna.

Misalnya dalam putusan perkara perselisihan perkara Sengketa Pilpres baik Nomor 1 (Gugatan Pasangan Calon Anis Baswedan-Muhaimin Iskandar) maupun Nomor 2 (Gugatan Paslon Ganjar Pranowo-Mahfud MD) walaupun tiga Hakim yang terdiri dari Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat berpendapat berbeda, namun putusan sah yang digunakan adalah pendapat mayoritas 5 Hakim lain yaitu menolak seluruh Gugatan.

Ada benarnya pendapat bahwa dissenting opinion tidak berguna, kalau kita hanya sekedar menilai suatu perkara sebatas menang dan kalah. Namun adakalanya memahami suatu putusan perkara tidak hanya sekedar kalah menang.

Misalnya komentar Mahfud MD sebagai salah satu pasangan Calon yang menggugat dan dengan catatan beliau telah malang melintang di dunia hukum (termasuk pernah jadi Ketua MK), selain memberi Selamat kepada Pemenang Hasil Pemilihan Umum (Prabowo-Gibran) juga mengapresiasi Keputusan Majelis Hakim MK.

Menurut Mahfud MD, ada peningkatan kualitas putusan MK pada tahun 2024 karena berdasarkan sejarah belum pernah ada putusan MK tentang sengketa hasil pilpres sebelumnya yang disertai dengan dissenting opinion.

Peningkatan kualitas putusan MK tergambar dari dinamika permusyarawatan Majelis Hakim yang independen dan berani, sehingga melahirkan putusan dissenting opinion. 

Sebagai catatan Saldi Isra diangkat sebagai Hakim MK pada tanggal 11 April 2017 mewakili Pemerintah dan ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo.

Masalah penunjukannya tidak membuat Saldi terbelenggu dan kehilangan independensinya dalam pertimbangan hukumnya dalam perkara Sengketa Pilpres 2024. 

Dissenting opinion bisa memberikan pandangan alternatif terhadap suatu kasus di Pengadilan dan memperkaya diskusi hukum mengenai hal-hal yang terkait dengan kasus tersebut.

Meskipun dissenting opinion tidak memiliki efek hukum langsung dalam keputusan akhir kasus, pendapat minoritas ini sering kali menjadi bahan referensi penting bagi perkembangan hukum di masa depan.

Misalnya pendapat dissenting opinion Saldi Isra dan kawan-kawan tentang penyaluran dana bansos sebagai alat pemenangan dan keterlibatan aparat negara, pejabat negara dalam pemenangan Paslon (aparat tidak netral) merupakan catatan perbaikan.

Poin-poin pertimbangan hukum dissenting opinion Saldi Isra dan kawan-kawan merupakan bahan rujukan bagi semua pihak (stake holder) untuk perbaikan ke depan, termasuk untuk Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 yang akan diselenggarakan pada akhir  bulan Agustus tahun ini.

Perintah perbaikan tersebut merupakan perintah hukum karena dissenting opinion termasuk dan berdasarkan pertimbangan dan bagian dari putusan Majelis Hakim MK tahun 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun