Adanya kehendak dan pernyataan dari pihak PT Bali Tower menunjukkan itikad baik menyelesaikan masalah merupakan pilihan tindakan yang sulit dan dilemmatis.
Karena dengan bersedia menanggung kerugian material (walaupun jumlahnya masih dalam tahap negosiasi), merupakan langkah yang tidak strategis secara hukum, karena artinya telah mengakui adanya pelanggaran hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata dimana ada 4 unsur harus dipenuhi agar unsur Pasal tersebut terpenuhi.
Unsur terakhir dari Pasal 1365 KUHPerdata adalah pemberian ganti rugi dari pihak yang melakukannya.
Agar seseorang berkewajiban melakukan ganti rugi harus memenuhi 3 unsur-unsur lain yang ada sebelumnya. Salah satu unsur lain itu adalah perbuatan melawan hukum.
Dengan adanya pengakuan akan memberikan ganti rugi, maka secara hukum dianggap PT Bali Tower telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Makanya pilihan PT Bali Tower untuk menawarkan ganti rugi merupakan pilihan yang sulit dan dilemmatis, disatu sisi dengan memperlihatkan ketulusan menyelesaikan masalah merupakan perbuatan gentle yang bertanggung jawab, namun disisi lain membuat posisi hukum menjadi lemah.
Hal tersebut berkaitan dengan tanggung jawab lain dalam yurisdiksi hukum yang berbeda.
Kasus menjuntainya kabel utilitas dan membikin celaka masyarakat bukan hanya masalah yurisdiksi perdata saja.
Pemberian ganti rugi kepada korban baru menyelesaikan masalah perdata, sedangkan masalah dalam perkara ini ada juga tanggung jawab pidananya.
Berdasarkan Pasal 359 dan 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pihak yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka berat atau meninggal diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Walaupun antara masalah pidana dan perdata tidak saling berkait, namun bukti-bukti yang ada dan diakui para pihak baik secara perdata maupun pidana dapat digunakan dalam masing-masing yurisdiksi yang berbeda.