Seorang suami di Perumahan Serpong Park, Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) tega menganiaya istrinya yang sedang hamil empat bulan pada Rabu (12/7) sekitar pukul 04.00 WIB.
Kasus ini ramai dibicarakan publik setelah ada warga merekam dan mengunggahnya di salah satu media sosial.
Akibat kejadian itu, korban babak belur di bagian wajah dengan luka lebam di hidung, telinga dan mata akibat begem mentah suaminya. (Kompas, Senin 17 Juli 2023).
Sebelumnya Erwin, seorang suami di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah (Kalteng) yang viral di media sosial lantaran menganiaya istrinya ditangkap aparat kepolisian.
Erwin yang kabur usai menganiaya istrinya itu ditangkap polisi di wilayah Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, Kamis (13/4/2023) malam.
Penganiayaan yang dilakukan Erwin, terhadap istrinya bernama Tentri Pratiwi viral di media sosial. Peristiwa naas yang dialami Tentri terjadi  di depan sebuah salon di Jalan Soekarno Hatta tepatnya di dekat Kantor LPTQ Katingan Kota Kasongan pada Kamis (13/4/2023). (Berita Satu Sabtu, 15 April 2023 | 15:42 WIB).
Kemudian pada bulan Mei 2023, hanya karena permasalahan rumah tangga, seorang suami di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), berinisial H (30) tega menebas istrinya E (25) dan kakak iparnya F (29) hingga luka parah. Usai kejadian, kedua korban langsung dilarikan di 2 rumah sakit berbeda di Banjarmasin untuk mendapatkan pertolongan medis. (Kompas.com 15 Mei 2023, 18:38 WIB).
Hampir setiap bulan ada saja kasus penganiayaan istri oleh suami yang viral di media sosial yang kemudian diberitakan oleh media massa.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kasus penganiayaan berupa kekerasan rumah tangga yang menimpa istri tengah marak ditengah keluarga Indonesia.
Kasus-kasus yang muncul dipermukaan yang kemudian viral seperti permukaan gunung es.
Faktanya di lapangan banyak kasus-kasus yang tidak terungkap dengan berbagai alasan, salah satunya adalah keengganan korban melaporkan pelakunya (suami) kepada pihak yang berwajib.
Keengganan istri sebagai korban untuk melapor.
Mengapa masalah kekerasan rumah tangga berupa penganiayaan istri oleh suami dikatakan fenomena gunung es. Karena ada beberapa alasan yang membuat istri sebagai korban enggan melaporkan penganiayaan yang dialaminya kepada pihak yang berwajib.
Perempuan yang menjadi korban kekerasan seringkali merasa takut akan balas dendam dari pelaku kekerasan.
Mereka mungkin khawatir tentang konsekuensi lebih lanjut, termasuk peningkatan kekerasan yang akan diterima dari suami karena mereka masih serumah dengan suami, apabila mereka melapor.
Rasa takut ini dapat menghambat mereka untuk melaporkan kekerasan kepada pihak berwajib.
Selain itu bisa saja istri korban kekerasan rumah tangga mengalami perasaan malu, merasa bersalah, karena merasa kejadian ini merupakan aib internal bagi keluarganya.
Masalah budaya masyarakat yang menyalahkan korban atau merendahkan mereka akan menyebabkan perempuan enggan melaporkan kekerasan demi menghindari stigma dan rasa malu yang lebih lanjut.
Untuk membuat laporan atas penderitaan yang dideritanya seorang istri yang jadi korban penganiayaan harus mempunyai kekuatan pisik dan mental.
Bagi perempuan yang semata-mata sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki sumber penghasilan secara ekonomi, lemah fisik, atau tidak punya mental yang  berani untuk melaporkan kekerasan akan merupakan hambatan untuk membuat laporan.
Selain itu istri-istri korban penganiayaan suami bisa saja kurang mendapatkan informasi. Mereka mungkin tidak tahu di mana mencari bantuan atau tidak memiliki akses ke layanan yang memadai.
Kurangnya dukungan sosial dan informasi lembaga-lembaga sosial masyarakat yang peduli untuk melindungi korban juga dapat menghalangi pelaporan.
Atau bisa juga mereka pernah punya pengalaman buruk dengan sistem hukum atau mendapat informasi berita tentang penanganan kasus kekerasan yang tidak memuaskan.
Hal ini dapat juga  membuat mereka ragu untuk melaporkan kekerasan dan meragukan efektivitas sistem hukum dalam memberikan keadilan dan perlindungan pada mereka.
Kemudian ketidakadilan gender yang masih ada dalam sistem hukum dimana kaum laki-laki masih dominan dapat menyebabkan ketidakpercayaan perempuan terhadap pihak berwajib.
Mereka mungkin menganggap bahwa sistem tersebut tidak akan memberikan perlindungan yang memadai atau mungkin akan memihak pelaku kekerasan.
Beberapa perempuan yang jadi korban kekerasan bisa saja kurang literasi karena masalah pendidikan sehingga mereka tidak menyadari hak-hak mereka sebagai korban kekerasan atau tidak tahu tentang sumber daya yang tersedia untuk membantu mereka.
Kurangnya pengetahuan ini dapat menghambat mereka untuk melaporkan kekerasan atau mencari bantuan.
Sanksi Undang-Undang Untuk Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Penganiayaan istri.
Terlepas dari keengganan istri sebagai korban penganiayaan suami kepada pihak berwajib, sudah selayaknya kita mengetahui bahwa semua praktik-praktik penganiayaan istri selain tidak elok, dan merupakan tindakan pengecut dari pelaku juga merupakan perbuatan yang masuk dalam tindak pidana yang dilarang. Sehingga dengan demikian bagi suami pelaku penganiayaan terhadap istri dapat dikenakan sanksi pidana penjara dan denda.
Dalam Hukum positip Indonesia, terdapat beberapa undang-undang yang mengatur kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan penganiayaan terhadap istri. Adapun undang-undang yang berlaku di Indonesia terkait dengan masalah tersebut adalah ;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT):
Undang-undang ini memberikan pengaturan secara lengkap mengenai tindakan pencegahan, perlindungan, penegakan hukum, rehabilitasi, dan pemulihan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. KDRT termasuk dalam ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 44 ayat 1 UU KDRT
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Jadi dalam hal ini Undang-Undang mengatur akan memberikan hukuman maksimal tergantung kepada akibat tindak pidana yang diderita istri, kalau seandainya akibat yang ditimbulkan sangat ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU KDRT ayat 4, maka ;
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Sedangkan kalau korban menderita sakit atau luka berat maka suami (pelaku) akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Kemudian dalam hal mengakibatkan matinya korban karena dianiaya, suami akan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Penganiayaan istri selain diatur dalam UU KDRT juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Dalam KUHP, terdapat beberapa pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga, seperti Pasal 351 tentang penganiayaan. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menyerang orang lain atau melakukan kekerasan terhadap orang lain, dapat dikenai sanksi pidana.
Pasal 351 KUHP ayat 1
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Dengan ketentuan apabila mengakibatkan luka berat bagi istri yang jadi korban, Â suami diancam hukuman maksimal lima tahun.
Sedangkan apabila mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana tujuh tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H