Dokumentasi ; Kantor Berita Kemanusiaan
Ketidakberdayaan Manula Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang
oleh Handra Deddy Hasan
Pada saat momen Idul Fitri ini manusia lanjut usia (manula) menjadi tren. Dimana-mana khususnya di gambar pesan-pesan ucapan maaf ditampilkan manula yang sedang menerima maaf dari anak, mantu dan cucu atau usia yang lebih muda. Iklan-iklan produk makanan, minuman atau kebutuhan Idul Fitripun juga tidak mau kalah menampilkan tokoh manula untuk menarik simpati pembeli. Untuk sementara manula ditampilkan menjadi sosok yang istimewa, bijaksana, sejahtera, dengan kondisi kesehatan yang prima. Namun apakah dalam kenyataan hidup sehari-hari sebenarnya demikian?
Manula, istilah yang digunakan untuk menyebut seseorang yang telah mencapai usia lanjut atau tua. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan  Lanjut  Usia (UU Manula) yang dimaksud manula adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas.
Istilah manula sering digunakan dalam konteks kesehatan, sosial, dan ekonomi, serta berkaitan dengan perubahan fisik, mental, dan sosial yang sering terjadi pada tahap kehidupan.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2020, komposisi populasi penduduk manula di Indonesia adalah sebagai berikut:
Usia 60-64 tahun: 8,79%
Usia 65-69 tahun: 7,28%
Usia 70-74 tahun: 5,71%
Usia 75-79 tahun: 4,31%
Usia 80 tahun ke atas: 3,53%
Jadi, total populasi manula di Indonesia pada tahun 2020 adalah sekitar 29,62 juta orang atau sekitar 10,96% dari total populasi Indonesia. Perkiraan ini terus berubah seiring dengan perubahan dinamika demografis di Indonesia.
Tidak ada data pasti yang dapat memberikan informasi mengenai berapa banyak dari manula di Indonesia yang masih mampu melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa. Hal ini disebabkan karena kondisi kesehatan, keahlian, dan keterampilan kerja masing-masing orang manula sangat beragam.
Namun demikian, beberapa survei menunjukkan bahwa sebagian besar manula di Indonesia masih tetap bekerja. Menurut data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2019, sekitar 12,6% dari total penduduk manula yang bekerja, berada dalam kelompok usia 60-64 tahun, sementara 5,5% berusia 65-69 tahun dan 3,1% berusia 70 tahun ke atas.
Banyak manula di Indonesia bekerja sebagai pedagang kecil, petani, atau pekerja rumah tangga. Namun, ada juga manula yang bekerja sebagai karyawan atau wiraswasta, dan masih mampu berkontribusi dalam menghasilkan barang dan jasa. Ada pula yang memilih untuk mengabdikan diri sebagai relawan atau melakukan kegiatan sosial.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa seiring bertambahnya usia, kemampuan fisik dan mental seseorang akan menurun, sehingga akan lebih sulit bagi manula untuk tetap bekerja dan menghasilkan barang dan jasa. Konsekwensinya masih ada manula yang terlantar, tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mampu untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Mereka berkeliaran menjadi gembel di kota-kota besar Indonesia, hidup di kolong langit dengan penuh keprihatinan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk membantu manula agar tetap sehat dan aktif dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, serta memberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau program pengembangan keterampilan yang sesuai dengan keahlian mereka.
Hak-hak Manula Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang.
Berdasarkan UU Manula, para manula dibagi kedalam 2 katagori ;
Yang Pertama disebut Lanjut Usia Potensial, dinamakan demikian karena manula jenis ini masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa.
Sedangkan katagori kedua dinamakan Lanjut Usia Tidak Potensial yang sudah tidak mampu lagi, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Berdasarkan Pasal 5 UU Manula, kedua katagori manula mempunyai hak-hak sebagai berikut ;
Ayat (1) Lanjut usia mempunyai hak yang sama seperti warga negara yang lain, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ayat (2) Sebagai penghormatan dan penghargaan kepada lanjut usia diberikan
hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang meliputi:
a. pelayanan keagamaan dan mental spiritual;
b. pelayanan kesehatan;
c. pelayanan kesempatan kerja;
d. pelayanan pendidikan dan pelatihan;
e. kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum.
f. kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum;
g. perlindungan sosial;
h. bantuan sosial.
Ayat (3) Bagi lanjut usia tidak potensial mendapatkan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kecuali huruf "c", huruf "d", dan huruf "h".
Ayat (4) Bagi lanjut usia potensial mendapatkan kemudahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kecuali huruf "g".
Masih Banyak Manula Yang Terlantar.
Walaupun hak-hak manula sudah jelas diberikan oleh Undang-undang, namun kenyataannya di kota-kota besar Indonesia secara kasat mata masih banyak kita temukan manula yang jadi gembel dan terlantar.
Sebagai contoh di beberapa kota yang dipilih secara acak seperti kota Jakarta, Â Surabaya, Yogyakarta, Medan dan Pulau Bali dengan mudah bisa ditemukan sejumlah manula terlihat berkeliaran di jalanan dan taman kota karena tidak memiliki tempat tinggal dan perawatan yang memadai.
Hal ini mungkin disebabkan kurangnya perhatian dari keluarga atau masyarakat terhadap manula yang tidak memiliki anggota keluarga yang dapat merawat dan mengurus mereka.
Persolan utama bagi manula yang tidak potensial adalah masalah ekonomi yang menyebabkan manula tidak mempunyai tempat tinggal, tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
Penderitaan manula terlantar semakin parah karena belum memadainya sistem pelayanan kesehatan dan sosial yang memadai khusus untuk manula.
Untuk mengatasi manula yang terlantar, nampaknya kita tidak hanya bisa bersandar kepada ketentuan Undang-undang semata. Dibutuhkan langkah-langkah seluruh elemen masyarakat bertindak nyata agar hak-hak yang diberikan oleh Undang-undang menjadi nyata bagi para manula.
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan, antara lain:
1. Menyediakan tempat perlindungan dan bantuan
Langkah pertama adalah menyediakan tempat perlindungan sementara yang aman dan nyaman bagi manula yang terlantar. Bantuan makanan, minuman, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya juga harus disediakan.
2. Memberikan perawatan medis.
Manula yang terlantar mungkin memiliki kondisi kesehatan yang memerlukan perawatan medis, seperti penyakit kronis atau cacat. Mereka juga bisa mengalami malnutrisi, dehidrasi, atau kondisi kesehatan lainnya karena tidak mendapat perawatan yang memadai. Oleh karena itu, perawatan medis harus diberikan secepat mungkin.
3.Mencari keluarga atau sanak saudara
Jika memungkinkan, upaya harus dilakukan untuk mencari keluarga atau sanak saudara dari manula yang terlantar. Hal ini dapat membantu dalam proses reintegrasi sosial dan pemulihan.
4. Melibatkan masyarakat
Masyarakat sekitar bisa diminta untuk membantu dalam memberikan bantuan, seperti donasi makanan, pakaian, atau uang. Mereka juga bisa membantu mencari informasi tentang manula yang terlantar, atau melaporkan kejadian jika melihat seseorang yang terlantar di tempat umum.
5. Menyediakan layanan rehabilitasi dan pelatihan keterampilan
Untuk membantu manula yang terlantar kembali mandiri, layanan rehabilitasi dan pelatihan keterampilan dapat disediakan. Ini dapat membantu mereka memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memperoleh pekerjaan atau menghasilkan uang sendiri.
Upaya-upaya di atas dapat dilakukan oleh pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Institusi Keagamaan seperti Masjid, Gereja dan lain-lain atau masyarakat umum untuk membantu mengatasi masalah manula yang terlantar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H