Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Vonis Ringan Richard Eliezer Karena Desakan Masyarakat?

22 Februari 2023   21:05 Diperbarui: 22 Februari 2023   21:05 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sumber : pinterest freepik)

Vonis Ringan Richard Eliezer Karena Desakan Masyarakat ?


                    oleh Handra Deddy Hasan

Dalam penegakan hukum kita mengenal istilah "trial by pers" adalah proses pengadilan di mana seseorang dinyatakan bersalah atau tidak bersalah oleh masyarakat umum, bukan oleh hakim yang ditunjuk oleh pengadilan. Istilah ini juga dikenal sebagai "trial by public opinion" atau "trial by media".

Dalam proses trial by pers, pengadilan terbuka untuk umum dan bukan hanya untuk pihak yang terlibat dalam kasus. Pihak media dan masyarakat umum dapat memberikan pendapat mereka tentang kasus tersebut, yang dapat mempengaruhi bagaimana orang lain memandang terdakwa.

Namun, penting untuk dicatat bahwa trial by pers tidak mengikuti prosedur hukum yang biasa, dan hasilnya tidak selalu adil atau akurat. Oleh karena itu, proses hukum yang sah harus dilakukan melalui sistem pengadilan yang didasarkan pada bukti dan hukum yang berlaku.

Pengaruh media sosial.

Akhir2 ini, karena kemajuan dan revolusi informasi kita sangat terpapar dan terpengaruh dengan media sosial dalam kehidupan sehari.

Media sosial saat ini memang memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan kita, termasuk merasuk dalam sistim pengadilan. Meskipun media sosial tidak memiliki peran langsung dalam pengambilan keputusan hakim, namun eksistensinya dapat mempengaruhi persepsi publik tentang suatu kasus dan mempengaruhi bagaimana publik menilai kasus tersebut.

Pada akhirnya, hakim harus memutuskan berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang dihadirkan dalam pengadilan, dan harus mempertimbangkan secara hati-hati semua faktor yang relevan dalam membuat keputusan. Hakim harus memastikan bahwa putusan mereka didasarkan pada hukum yang berlaku dan bukan dipengaruhi oleh tekanan atau opini publik.

Namun demikian, hakim juga manusia dan mungkin terpapar pada pengaruh media sosial atau opini publik dalam beberapa kasus. Oleh karena itu, penting bagi hakim untuk menjaga independensi dan integritas mereka dalam mengambil keputusan, serta memastikan bahwa putusan mereka didasarkan pada hukum dan bukti yang ada.

Mungkinkah seorang hakim bisa terpengaruh dalam membuat putusan karena media sosial ?

Meskipun seorang hakim seharusnya menjatuhkan putusan berdasarkan fakta persidangan dan hukum yang berlaku, namun tidak dapat dipungkiri bahwa seorang hakim juga manusia yang dapat terpengaruh oleh berbagai faktor, termasuk pengaruh dari media sosial.

Media sosial dapat mempengaruhi persepsi publik tentang suatu kasus dan mempengaruhi opini dan pandangan orang tentang pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. Apabila seorang hakim terpapar pada opini atau pendapat yang tidak berdasar atau terlalu memihak dari media sosial, maka hal itu dapat mempengaruhi putusan hakim dan membuat putusannya tidak adil.

Namun demikian, hakim memiliki kewajiban untuk menjaga independensi dan integritas mereka dalam menjatuhkan putusan. Mereka harus memastikan bahwa keputusan yang mereka buat didasarkan pada fakta dan bukti yang terungkap dalam pengadilan, serta sesuai dengan hukum yang berlaku.

Oleh karena itu, hakim perlu menjaga jarak dari pengaruh media sosial dalam menentukan putusan. Mereka juga perlu memastikan bahwa putusan yang mereka buat tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti tekanan politik, opini publik atau media sosial.

Beberapa kasus di dunia dimana hakim terpengaruh dengan media sosial dalam putusannya.

Seiring dengan meningkatnya pengaruh media sosial dalam kehidupan sehari-hari, terdapat beberapa kasus di berbagai negara di mana media sosial diduga mempengaruhi putusan hakim dalam pengadilan. Berikut adalah beberapa contoh kasus tersebut:

1. Kasus Penusukan di Jerman:

Pada 2020, seorang pengungsi Suriah dinyatakan bersalah dalam kasus penusukan di kota Dresden, Jerman. Namun, putusan tersebut menuai kontroversi setelah terungkap bahwa hakim yang menangani kasus tersebut mengambil informasi dari akun media sosial yang bersifat rasis dan xenofobia. Akibatnya, beberapa pihak mempertanyakan keberpihakan hakim dalam menjatuhkan putusan.

2. Kasus Pembunuhan George Floyd di AS:

Dalam kasus pembunuhan George Floyd di Amerika Serikat pada 2020, penggunaan media sosial terbukti sangat signifikan dalam pengaruh publik terhadap keputusan pengadilan. Kondisi sosial-politik Amerika Serikat yang memanas ditambah dengan penggunaan media sosial, membuat keputusan hakim dalam kasus tersebut menjadi sangat dipantau dan dibicarakan oleh publik.

3. Kasus Pelanggaran Lalu Lintas di Kanada:

Pada 2018, seorang wanita dinyatakan tidak bersalah dalam kasus pelanggaran lalu lintas di Kanada. Namun, keputusan tersebut dibatalkan oleh pengadilan setelah terungkap bahwa hakim yang menangani kasus tersebut mengambil informasi dari akun media sosial yang mengandung konten diskriminatif terhadap perempuan.

Kasus-kasus ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga independensi dan integritas hakim dalam menjatuhkan putusan. Hakim harus memastikan bahwa keputusan mereka didasarkan pada fakta dan bukti yang berlaku, serta sesuai dengan hukum yang berlaku, tanpa dipengaruhi oleh opini publik atau media sosial.

Polemik tentang Justice Collaborator dalam memberikan keringanan hukuman bagi Pelaku Tindak Pidana.

Keringanan hukum yang diberikan kepada seorang justice collaborator (JC) dalam hukum pidana Indonesia dapat dianggap sebagai suatu bentuk insentif atau imbalan yang diberikan kepada pelaku kejahatan yang bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap kejahatan lainnya.

Dalam satu sisi, keringanan hukuman untuk JC dapat menjadi alat yang efektif bagi aparat penegak hukum dalam mengungkap kejahatan lainnya dan memperoleh bukti yang cukup kuat untuk memastikan terdakwa lain yang terlibat dalam tindak pidana dapat dihukum sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Dalam banyak kasus, keterlibatan seorang JC telah membantu aparat penegak hukum mengungkap kejahatan besar seperti narkotika dan korupsi.

Namun, di sisi lain, keringanan hukuman untuk JC dapat menimbulkan polemik dalam masyarakat karena terdapat pandangan bahwa hal tersebut dapat merusak sistem peradilan pidana. Kebijakan tersebut dapat mendorong terdakwa untuk melaporkan kejahatan yang tidak terjadi atau melibatkan orang lain dalam kejahatan yang tidak terjadi, hanya untuk mendapatkan keringanan hukuman atau pembebasan.

Oleh karena itu, pemberian keringanan hukuman untuk JC harus didasarkan pada prosedur dan syarat yang jelas dan ketat. Pemberian keringanan hukuman tersebut harus dilakukan secara selektif, dan hanya diberikan jika informasi yang diberikan oleh JC dianggap bermanfaat dan memadai dalam mengungkap kejahatan lainnya. Selain itu, keringanan hukuman yang diberikan kepada JC tidak boleh merugikan kepentingan publik, dan harus selalu memperhatikan prinsip keadilan.

Dalam kesimpulannya, layak atau tidaknya memberikan keringanan hukuman bagi JC harus dilihat dari kasus kejahatan yang sedang ditangani oleh aparat penegak hukum. Namun, kebijakan tersebut harus selalu memperhatikan prinsip keadilan, keseimbangan antara kepentingan publik dan kepentingan individu, serta tidak boleh menimbulkan dampak negatif pada sistem peradilan pidana.

Batas keringanan hukuman bagi pelaku kejahatan yang merupakan justice collaborator di Indonesia diatur dalam beberapa undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pidana Nasional.

Dalam undang-undang tersebut, keringanan hukuman bagi justice collaborator diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Justice collaborator harus memberikan informasi yang dapat membantu proses penyidikan atau penuntutan suatu tindak pidana kepada aparat penegak hukum.

2. Informasi yang diberikan oleh justice collaborator harus memberikan manfaat yang nyata dan cukup besar dalam mengungkap kejahatan lain atau memperkuat bukti yang ada.

3. Justice collaborator harus memberikan kerjasama yang aktif dan terus-menerus dalam proses penyidikan atau penuntutan tindak pidana.

4. Justice collaborator tidak boleh menjadi penuntut atau saksi dalam perkara yang berhubungan dengan tindak pidana yang ia lakukan.

5. Keringanan hukuman yang diberikan kepada justice collaborator harus disetujui oleh jaksa penuntut umum dan pengadilan.

Namun, dalam praktiknya, batas keringanan hukuman bagi justice collaborator masih menjadi perdebatan di Indonesia. Beberapa pihak berpendapat bahwa keringanan hukuman yang diberikan kepada justice collaborator terlalu besar, dan dapat memberikan kesan bahwa tindak pidana dapat diampuni dengan memberikan informasi yang bermanfaat kepada aparat penegak hukum. 

Sedangkan, pihak lain berpendapat bahwa keringanan hukuman yang diberikan kepada justice collaborator diperlukan untuk memberikan insentif kepada pelaku kejahatan untuk berubah perilaku dan membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap kejahatan lain.

Dalam praktik peradilan di Indonesia, pengadilan biasanya memberikan keringanan hukuman kepada justice collaborator dengan mengurangi hukuman penjara yang dijatuhkan, atau memberikan hukuman kurungan, pidana bersyarat, atau bahkan pembebasan bersyarat. Namun, pengadilan tetap mempertimbangkan berbagai faktor dalam menentukan keringanan hukuman, seperti tingkat kejahatan yang dilakukan, kerjasama yang diberikan oleh justice collaborator, dan kepentingan publik.

Hari ini tanggal 22 Februari 2023 Richard Eliezer ditentukan nasibnya sebagai pelaku kejahatan pembunuhan atas Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Hari ini batas waktu bagi Jaksa untuk menyatakan atau tidak memyatakan banding atas putusan yang dijatuhkan hakim yaitu pidana penjara 1 tahun 6 bulan, sedangkan jaksa menuntut 12 tahun penjara. Apabila Jaksa tidak mengajukan banding (gelagatnya memang begitu), maka putusan penjara 1 tahun 6 bulan akan mempunyai kekuatan pasti (in kracht van gewijsde).  Richard Eliezer adalah pelaku yang bekerja sama atau justice collabolator. 

Sedangkan Ferdy Sambo sebagai actor intelectual dalam peristiwa pidana ini dihukum oleh Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan dengan hukuman mati dan istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dihukum dengan hukuman pidana penjara selama 20 tahun. Pada waktu Jaksa mengajukan tuntutan penjara 12 tahun untuk Richard Eliezer, jagat media sosial riuh rendah memprotes dan menghujat keputusan Jaksa yang menuntut 12 tahun. Kemudian ternyata hakim dalam putusannya menjatuhkan putusan yang sangat ringan yaitu hanya pidana penjara 1 tahun 6 bulan. 

Apakah putusan ringan ini berkaitan dengan desakan masyarakat melalui media sosial dan kemudian digaungkan lebih kencang oleh media mainstream. Artinya Majelis Hakim dalam membuat putusan tidak hanya sekedar melihat fakta-fakta persidangan, tetapi telah terpengaruh oleh tekanan media (trial by pers, trial by public opinion) dalam membuat putusan. Wallhualam.

Sebagai perbandingan ada beberapa contoh hukuman ringan yang pernah diberikan kepada justice collaborator di Indonesia:

1. Kasus korupsi;

Terpidana Muhammad Nazaruddin yang merupakan bekas politisi Partai Demokrat, menerima hukuman penjara selama 16 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar. Namun, hukuman tersebut kemudian dikurangi menjadi 12 tahun dan denda sebesar Rp 50 juta setelah ia sepakat menjadi justice collaborator dan memberikan informasi mengenai praktik korupsi di Partai Demokrat.

2. Kasus narkotika:

 Terpidana Muhammad Sanusi, yang merupakan kurir narkotika internasional, menerima hukuman penjara selama 20 tahun. Namun, hukuman tersebut kemudian dikurangi menjadi 14 tahun setelah ia sepakat menjadi justice collaborator dan memberikan informasi mengenai jaringan peredaran narkotika internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun