Tujuan adanya perangkat hukum adalah untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum. Walaupun keadilan itu sendiri relatif dan sangat subyektif, tapi rasa keadilan komunal akan terasa dampaknya dalam masyarakat. Selain itu masyarakat membutuhkan suatu perlindungan secara hukum atas interaksinya dengan sesama manusia.
Akhir2 ini marak dibicarakan oleh media adanya rasa ketidak adilan atas ketentuan2 yang diatur dalam Undang2 Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang2 Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Banyak yang menuduh beberapa pasal2 dalam  UU ITE mengandung "pasal karet" yang bisa ditarik sesuka hati dari pihak yang merasa dirugikan. Demikian juga aparat penegak hukum sekehendak hati bisa menafsirkan arti dari pasal2 UU ITE sehingga bisa menjerat pidana orang2 tertentu yang memang sudah menjadi target.
Polemik "pasal karet" telah membuat Presiden Jokowi Widodo memberikan sinyal agar UU ITE direvisi jika memang implementasinya menimbulkan ketidak adilan.
Gagasan untuk merevisi UU ITE oleh Presiden Jokowi langsung disambut dengan meriah oleh kelompok masyarakat sipil dan sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (Kompas 17 Februari 2021).
Apakah memang perlu merevisi UU ITE karena beberapa pasalnya menimbulkan keresahan yang menciptakan ketidak adilan ditengah masyarakat ?
Sistim Hukum L M Friedman.
Berlakunya suatu aturan hukum dalam mengatur interaksi sesama manusia tidak hanya melibatkan semata2 aturan hukum itu sendiri.
Dalam mencapai tujuan hukum yang berakhir dengan rasa keadilan dan kepastian hukum berarti membicarakan sistim hukum keseluruhan.
Aturan hukum atau Undang2 hanya merupakan salah satu saja dari sistim hukum yang ada.
Menurut Profesor Lawrence Meir Freidman sosiolog hukum dari Stanford University California Amerika Serikat ada tiga unsur pembentuk sistim hukum. Adapun unsur2 tersebut meliputi substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).