Pada tanggal 16 Juli 2014 Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur yang diketuai oleh Petriyanti membebaskan Dul dari hukuman penjara. Alasan utama Majelis hakim membebaskan Dul dari hukuman penjara adalah karena adanya perdamaian antara pihak keluarga korban yang meninggal dengan pihak keluarga pelaku.Â
Adapun materi perdamaiannya antara lain, Â Ahmad Dhani selaku ayah Dul telah membebaskan seluruh biaya keluarga yang meninggal. Selain daripada itu Ahmad Dhani bersedia menanggung seluruh biaya hidup dan biaya sekolah anak2 korban sampai selesai.
Majelis hakim Pengadilan Jakarta Timur yang diketuai oleh Petriyanti telah melakukan penegakan hukum keadilan restoratif melalui putusannya.
Hal tersebut memungkinkan karena dalam Pasal 28 ayat 1 Undang2 No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai2 hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".
Dalam Pasal 28 ayat 2 UU yang sama dituliskan " Dalam pertimbangan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat baik dan jahat terdakwa".
Seharusnya tidak ada alasan lagi untuk tidak menghadirkan keadilan restoratif dalam sistim pemidanaan Indonesia, walaupun KUHPidana yang berlaku sekarang belum menganut sistim keadilan restroratif. Alasan bahwa harus menunggu KUHPidana baru yang sedang digodog di DPR dan entah kapan akan selesainya merupakan alasan yang dibuat2.Â
Dengan dasar hukum yang ada, para penegak hukum dari polisi, jaksa dan hakim bisa berperanan menjadi mediator, bertindak untuk menghadirkan keadilan restoratif, dibandingkan membabi buta untuk menghukum pelaku kejahatan dengan hukuman penjara.
Keuntungan menghadirkan keadilan restoratif selain dari menghadirkan keadilan yang lebih substantif dan preventif juga penegakan hukum lebih efisien dan efektif. Jangka waktu pemrosesan kasus lebih singkat, tidak bertele2, sehingga permasalahan penumpukan perkara di setiap jajaran pengadilan khususnya Mahkamah Agung tidak terjadi. Serta masalah overkapasitas rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan mendapatkan solusi.
Permasalahan akan timbul dalam praktek, apakah seluruh aparat penegak hukum yang ada memahami konsep keadilan restoratif secara mendalam sekaligus mengerti bahwa sistim ini telah dilindungi oleh aturan2 yang memadai.
Ketidak pahaman aparat penegak hukum dalam prakteknya akan merupakan kendala bagi terciptanya keadilan restoratif.
Kalau masih ada penegak hukum yang merasa bahwa perdamaian antara pelaku dan korban bisa terjadi karena kebaikan hati aparat sehingga kasus dihentikan atas jasa aparat penegak hukum. Akibatnya aparat penegak hukum meminta imbalan kepada para pihak atas jasanya. Apabila hal ini masih terjadi, maka jangan mimpi keadilan restoratif bisa terwujud.Â
Ini bukan bentuk aplikatif dari sistim keadilan restoratif tapi malah memberi contoh tindak pidana korupsi suap menyuap. Sebaik apapun nanti aturan KUHPidana baru menganut sistim keadilan restoratif tidak akan membantu mengujudkannya, apabila mental aparat masih seperti contoh diatas.