Praktek modus mafia peradilan dalam mengatur berat ringannya putusan terdakwa koruptur, diduga telah membuat banyaknya putusan2 ringan dari perkara korupsi.
Mahkamah Agung cukup tanggap untuk menjawab keresahan masyarakat tentang ringannya putusan perkara korupsi. Untuk menjawabnya Mahkamah Agung menerbitkan Perma No 1 tahun 2020. Adanya Perma No 1 tahun 2020 diharapkan bisa mengeliminir praktek mafia peradilan dalam jual beli pasal perkara korupsi.
Parameter Terukur Dalam Membuat Pertimbangan Putusan Korupsi.
Kalau sebelum adanya Perma Nomor 1 tahun 2020, hakim yang mengadili terdakwa koruptor berdasarkan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 UU Korupsi mencari bukti dan mengambil kesimpulan penilaian bukti dengan parameter pribadi masing2. Akibatnya pertimbangan putusannya terhadap terdakwa korupsi sesuai selera dan kemampuan hakim yang mengadili, sehingga putusannya jadi beragam dan terjadi disparitas dan perbedaan yang menyolok. Dengan adanya Perma No 1 tahun 2020 akan membuat kualitas putusan perkara berdasarkan  Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi akan akuntable dan mencapai standar yang terukur.
Berdasarkan Pasal 5 (1) Perma No 1 tahum 2020, ada 3 parameter yang wajib dipedomani oleh hakim dalam perkara korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi yaitu
1. Kerugian Negara.
2. Tingkat Kesalahan, dampak dan keuntungan.
3. Keadaan yang memberatkan dan yang meringankan.
Ketiga parameter tersebut merupakan pedoman bagi hakim dalam menggali pembuktian di pengadilan. Perma no 1 tahun 2020 mengatur parameter itu real dan terukur sesuai bukti2 yang ada.
Misal untuk "kerugian negara" lebih dari Rp 100 Miliar akan dikatagorikan dalam katagori jenis paling berat. Ada 4 katagori dalam penentuan kerugian negara dari paling berat, berat, sedang dan ringan yang ditentukan berdasarkan nilai kerugian negara yang terjadi.
Kemudian untuk pertimbangan "kesalahan", "dampak" dan "keuntungan" diberikan juga masing2, tiga katagori yaitu tinggi, sedang dan rendah dengan narasi terukur dan akuntabel (Pasal 8, 9 dan 10 Perma No 1/2020).
Misal, terdakwa yang terbukti memiliki peran yang paling signifikan dikatagorikan sebagai "kesalahan" katagori tinggi, sedangkan terdakwa yang terbukti hanya membantu dalam pelaksanaan tindak pidana korupsi dikatagorikan sebagai "kesalahan" katagori rendah.
Terdakwa yang terbukti melakukan korupsi dalam skala nasional, dikatagorikan sebagai "dampak" tinggi sedangkan terdakwa yang terbukti perbuatannya mengakibatkan hasil pekerjaannya tidak sesuai spesifikasi namun barang tsb masih dapat dimanfaatkan dikatagorikan sebagai "dampak" rendah.
Contoh petunjuk narasi terukur lain adalah parameter "keuntungan". Terdakwa yang terbukti yang nilai harta benda yang dikorupsi melebihi 50 % dari kerugian negara yang timbul dikatagorikan sebagai "keuntungan" tinggi. Bagi terdakwa koruptor yang mengembalikan kerugian negara lebih dari 50% (pengembalian yg diperhitungkan hanya pengembalian sukarela yang dilakukan sebelum pengucapan putusan) akan dikatagorikan sebagai "keuntungan" katagori rendah.
Setelah hakim mengiventarisir seluruh pembuktian dengan parameter kerugian negara, tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan dalam suatu tabel matriks, maka hakim akan bisa dengan pasti menentukan hukuman pidana penjara dan denda yang akan dijatuhkan. Perma No 1 tahun 2020 telah memberikan petunjuk bagan matriks atas inventarisir bukti2 parameter yang telah ditetapkan.