Salah satu produk yang telah dikeluarkan oleh Bidang Yudisial MA adalah Peraturan Mahkamah Agung No 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perma No 1 tahun 2020).
Berdasarkan pandangan hukum berdasarkan UU No 31 tahun 1999 jo.UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi), ada 30 bentuk dan jenis tindak pidana korupsi. Ketiga puluh bentuk dan jenis tindak korupsi dapat dikelompokkan dalam 7 kelompok besar yaitu :
1. Kerugian Keuangan Negara.
2. Suap Menyuap.
3. Penggelapan Dalam Jabatan.
4. Pemerasan.
5. Perbuatan Curang.
6. Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan.
7. Gratifikasi.
Khusus tentang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi masuk dalam kelompok Kerugian Keuangan Negara. Mayoritas perkara yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyangkut Kelompok Kerugian Keuangan Negara. Beberapa putusan terhadap perkara yang masuk dalam kelompok keuangan negara sangat beragam. Hakim dalam menjatuhkan putusan, khususnya dalam lamanya hukuman penjara yang dijatuhkan dan hukuman denda yang diberikan sangat berbeda atas perkara2 yang identik sama.
Secara teori hal ini tidak salah karena hakim dalam mengadili perkara mempunyai pandangan independen sejauh dalam koridor hukum yang ada. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi memberikan "range" (rentang) pembatasan hukuman, sehingga putusan seorang hakim tidak harus sama dengan hakim perkara lain yang identik.
Khusus Pasal 2 UU Korupsi "range" (rentang) ancaman hukuman dari maksimal hukuman mati (dalam keadaan tertentu) atau hukuman penjara seumur hidup sampai paling ringan 4 tahun penjara.
Sedangkan Pasal 3 UU Korupsi mengatur ancaman hukuman paling berat pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 1 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Aturan ancaman hukuman Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi yang mengatur "range" hukuman yang sangat lebar sejak hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun sampai paling ringan penjara 4 tahun atau 1 tahun telah membuat putusan perkara korupsi sangat beragam. Keberagaman dan disparitas putusan hukuman korupsi di Pengadilan memang tergantung kepada bukti2 yang ditemukan dalam persidangan dan juga tergantung kepada selera Majelis Hakim yang mengadilinya.
Masyarakat merasa bahwa hakim2 tipikor dalam membuat putusan2nya sudah tidak lagi berpijak kepada nurani parameter keadilan, tapi ada kecendrungan hanya mempertimbangkan hukum formal untuk kepentingan pribadi. Akibatnya banyak putusan2 perkara korupsi walau tetap dihukum tapi dengan hukuman penjara yang ringan.
Keresahan masyarakat melihat kecendrungan hukuman ringan terhadap perkara korupsi telah direspons dengan bijak oleh Mahkamah Agung dengan Perma No 1 tahun 2020.
Jualan Pasal Korupsi.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa di dunia yudikatif Indonesia ada "mafia peradilan" yang melibatkan oknum nakal Pengacara, Jaksa dan Hakim. Tiga pondasi keadilan tersebut terkadang tidak sekedar mencari keadilan sesuai dengan UU dan etika mereka, tapi mencari keuntungan pribadi dari kasus yang sedang ditangani.
Bagi terdakwa korupsi, iming2 janji hukuman ringan dari mafia peradilan merupakan oase yang menggiurkan untuk segera lepas dari kurungan hukuman penjara.