Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Modus Para Koruptor untuk Mendapat Hukuman Ringan

11 Oktober 2020   15:48 Diperbarui: 13 Oktober 2020   10:58 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesuatu yang tidak bisa diterima dengan akal sehat tentu akan menimbulkan kecurigaan.

Ini ibarat kentut di tengah keramaian, bau busuknya tercium oleh semua orang, tapi mencari siapa yang buang angin sukar sekali.
Jawaban Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah dengan mengatakan Majelis Hakim PK selalu mengadili perkara sesuai UU dan rasa keadilan(Kompas 9 Oktober 2020), terasa menghina intelegensia publik tentang keadilan.

Seharusnya "stake holder" keadilan, seperti KPK, Komisi Yudicial, Ketua MA, dll, mulai mengarahkan perhatian untuk mencari sumber "bau busuk" ini, agar publik tidak terus bertanya2. 

Adanya kecendrungan pengurangan hukuman bagi koruptor dengan modus mengajukan PK kepada MA, membuat MA menjadi sorotan publik. Banyak tuduhan yang ditujukan kepada MA yang telah menggergaji upaya pengadilan dibawah MA,  dalam rangka membuat kapok koruptor dengan memberikan hukuman berat.

Kelemahan KUHAP

Pemahaman bahwa mencari keadilan tidak bisa dibatasi waktu sangat bisa dipahami. Berpedoman pada kasus Sengkon dan Karta bahwa novum bisa ketemu kapan saja. Jadi alasan PK yang bisa dilakukan kapan saja tanpa batas waktu dan bisa dilakukan berkali2 sangat masuk akal demi mencari keadilan (Pasal 264 (3) KUHAP).

Tapi menempatkan 3 alasan2 pengajuan PK dalam kualitas yang setara, nampaknya tidak benar. Penemuan novum bisa kapan saja, tapi masalah penilaian bukti dan kekhilafan atau kekeliruan hakim sudah dapat diketahui sejak putusan diterima.

Seharusnya pengajuan PK karena alasan masalah penilaian bukti dan kekhilafan dan kekeliruan hakim dibatasi waktunya, misal dengan 380 hari terhitung sejak putusan diterima.

Berbeda dengan KUHAP yang mengatur masalah pidana, dalam aturan Hukum Acara Perdata membatasi waktu untuk pengajuan PK karena alasan penilaian bukti atau kekhilafan kekeliruan hakim, 380 hari terhitung sejak putusan diterima.

Pasal 163 (2) dan Pasal 264 (3) KUHAP yang menyamaratakan 3 dasar alasan pengajuan PK dan dapat dilakukan setiap waktu, merupakan salah satu sebab masifnya pengajuan PK dari koruptor. Pasal ini memungkinkan para koruptor melakukan "window shopping" untuk mengajukan PK. 

Pada waktu ada Artidjo Alkostar masih di MA sebagai Hakim Agung, mereka pada menahan diri dan takut hukumannya malah bertambah kalau mengajukan PK. Pas liat MA mulai lagi "pesta diskon" hukuman, mereka pada rame2 mengajukan PK. Hal ini memungkinkan karena KUHAP memperbolehkan kapan saja PK diajukan. Seharusnya hanya karena alasan novum saja yang memperbolehkan PK diajukan kapan saja, tanpa batas waktu.  Alasan diluar itu, harus dibatasi waktunya, karena alasan tersebut telah diketahui sejak putusan diterima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun