Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Semua orang tahu dan paham bahwa penggalan kalimat ini bukan bercerita tentang letak posisi tangan di atas atau di bawah. Pengertiannya bahwa orang yang memberi, kedudukannya dan kehormatannya lebih baik daripada orang yang menerima. Apalagi pihak yang memberi melakukannya dengan ikhlas tanpa meminta imbalan.
Memberi bukan selalu berupa materi atau uang, memberikan tenaga untuk mengabdi kepada sesuatu yang kita yakini membawa kebaikan atau merawat kemuliaan juga diartikan sebagai memberi.Â
Memberikan pencerahan berupa ilmu yang bermanfaat juga termasuk dalam pengertian memberi. Apapun potensi yang dipunyai dan dapat dimanfaatkan dan berguna bagi orang lain merupakan materi dari perbuatan memberi.Â
Apabila dilakukan delivery penyerahan dari materi tersebut dengan tujuan dimanfaatkan, maka kejadian itu dinamakan memberi. Aktivitas memberi secara aktif baik berupa tenaga, keahlian, pikiran atau kombinasi dari dua atau ketiga-tiganya merupakan konsep dasar yang dinamakan "bekerja".Â
Upah, gaji atau imbalan apapun dari perbuatan memberi merupakan akibat samping dari penghargaan dari perbuatan memberi. Tapi tidak otomatis perbedaan derajad kemuliaan pekerjaan terletak pada besar atau kecilnya upah atau tanpa pamrih. Kemuliaan bekerja terletak pada passion kesenangan dalam melakukan pekerjaan.
Bekerja dengan Kemuliaan.
Sudah merupakan rahasia umum, bekerja lebih baik dari pada menganggur. Pekerjaan bukan hanya sekedar membuat kesibukan menghabiskan waktu, juga berkaitan dengan kehormatan dan kemuliaan.Â
Kehormatan akan menaikkan nilai seseorang di tengah masyarakat sebagai manusia mulia. Bahkan kalau kita melihat sejarah masa lalu banyak orang yang mengabaikan hasil dari bekerja berupa uang demi kehormatan.Â
Misalnya "abdi-abdi dalem" yang bekerja untuk kerajaan, mereka bekerja dengan sungguh-sungguh dengan senang hati. Mereka tidak pernah mempertimbangkan gaji demi kehormatan untuk bekerja mengabdi kepada raja. Bekerja demi dan untuk kerajaan adalah suatu kemuliaan dalam pengabdian. Praktek seperti ini kabarnya kurang lebih masih terjadi di Yogyakarta dan Solo.
Masih berbicara tentang bekerja. Seorang kepala keluarga yang bekerja memberi kehidupan bagi keluarganya, baginya bekerja bukan hanya sekedar kemuliaan karena rasa tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Tetapi pada saat yang bersamaan bekerja baginya juga untuk memperoleh materi berupa uang agar keluarganya bisa dipenuhi kebutuhan dasar sandang, pangan dan papannya.Â
Dengan demikian dibayangkan begitu beratnya tuntutan bekerja bagi kepala keluarga. Selain mempunyai nilai kehormatan dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, juga ada tuntutan lain atas materi yang diperoleh dari bekerja.Â
Bekerja tanpa ada hasil yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga akan kelihatan seperti belum bekerja. Dalam keadaan bekerja pun bisa dianggap tidak bekerja kalau hasilnya tidak sepadan, apalagi kalau tidak bekerja alias pengangguran.Â
Tekanan status pengangguran merupakan tekanan yang sangat berat untuk ditanggung oleh kepala keluarga atau calon kepala keluarga. Oleh karena itu upaya apapun akan dilakukan agar bisa bekerja untuk menghapus status pengangguran walaupun kadang-kadang nyawa pun dipertaruhkan untuk itu.
Ditipu Ketika Mencari Pekerjaan.
Di tengah kegalauan dan tekanan status pengangguran setitik harapan untuk bisa bekerja bisa membuat harapan yang menggembirakan. Harapan untuk lepas dari tekanan dahsyat status pengangguran yang menghimpit dada dan pikiran.Â
Kondisi menganggur, secara obyektif membuat keprihatinan mendalam bagi siapa saja yang mempunyai jiwa atensi yang sensitif. Keadaan semakin parah dan memilukan karena dunia sedang diamuk badai pendemi covid-19.Â
Dunia ambruk diterjang badai pendemi mengancam resesi ekonomi yang tak berujung. Indonesia tidak terkecuali, rencana investasi berantakan, perusahaan jadi sempoyongan, jangankan menambah tenaga kerja, untuk mempertahankan tenaga kerja yang ada saja perusahaan sudah terengah2 kepayahan.
Di tengah situasi awan kelabu yang menyedihkan ada saja sekumpulan orang yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan berbuat jahat. Ada saja orang-orang yang mengatakan dirinya "bekerja" semata-mata karena mengejar uang, tidak peduli cara untuk mendapatkannya.Â
Rasa kehormatan dan kemuliaan dari suatu pekerjaan dikesampingkan, menipu pun dilakukan agar bisa meraup uang secara tidak halal. Kata "penipuan" walau merupakan kata kerja tapi tidak bisa dikatagorikan sebagai pekerjaan. Menipu alih2 mengandung makna memberi, malah merampok dengan akal bulus serta menguasai hak orang lain.
Sebanyak 55 calon pegawai negeri sipil (PNS) menjadi korban penipuan dengan total kerugian Rp 3,8 miliar. Modus penipuan dilakukan oleh 4 orang yang mengaku dekat dengan Menteri Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) dan bisa membantu menjadikan mereka jadi PNS (Kompas, 21 September 2020).Â
Terlepas dari kecerobohan masyarakat yang tertipu dan menyetorkan pula sejumlah uang, kelompok penipu betul-betul mengerti kondisi masyarakat yang punya status pengangguran. Mengerti betul bahwa tekanan psikologis menganggur ditambah betapa sulitnya masuk ke lapangan pekerjaan akan membuat orang kehilangan akal sehat.Â
Penipu bukan sebagai kriminal yang kepepet hidup. Tetapi merupakan kelompok yang mempunyai edukasi yang memadai dan mempergunakan kepintarannya untuk memperdaya orang untuk melaksanakan niat jahatnya.Â
Pengertian bekerja mencari penghasilan bagi kelompok penipu PNS, tidaklah bisa dikatagorikan sebagai bekerja mengandung kemuliaan. Teganya mereka menipu korban-korban yang menganggur mencari pekerjaan. Pengangguran adalah kelompok yang rentan secara psikologis untuk diimingi-imingi mendapat pekerjaan.
Semoga Pada saatnya nanti dalam proses ,ketika kasusnya telah dilimpahkan ke Pengadilan, akan diadili oleh Majelis hakim yang cerdas secara sosial. Seharusnya hakim nantinya memberikan hukuman maksimal sebagaimana ancaman Pasal 378 KUHPidana tentang penipuan dengan pidana penjara 4 tahun.Â
Semoga majelis hakim bisa memahami latar belakang yang komprensif dari tindak pidana penipuan ini dan bukan hanya sekedar melihat fakta persidangan yang dangkal saja.
Dijadikan Budak Belian.
Ada lagi modus yang lebih kejam yaitu mengiming-imingi orang bekerja di luar negeri dengan gaji besar, padahal di baliknya ada jerat yang akan menjadikan calon yang terpikat untuk dijadikan budak.Â
Lowongan yang ditawarkan menjadi anak buah kapal (ABK) di kapal berbendara asing dengan gaji besar memang sangat menggiurkan, apalagi persyaratannya gampang. Tidak diperlukan sertifikat kompentesi perkapalan atau kemampuan berbahasa asing dan pengalaman kerja, hanya dengan copy Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga sudah bisa memasukkan lamaran.Â
Seharusnya dengan persyaratan segampang itu, cukup menimbulkan radar kecurigaan bagi para pelamar pekerjaan. Namun karena kurangnya pengalaman hidup dan kurangnya pengetahuan serta tekanan psikologis pengangguran, melenyapkan akal sehat pencari kerja.
Jerat akan diperbudak bekerja 20 jam sehari tanpa istirahat dengan makanan yang tidak layak makan tidak pernah terpikirkan. Harapan untuk bekerja apalagi dengan diimingi-imingi dengan gaji yang lumayan bisa membuat mimpi jadi kenyataan.Â
Mimpi tinggal mimpi, tidak pernah jadi kenyataan, akhirnya diperbudak oleh orang asing di kapal ikan. Banyak yang tidak tahan dengan segala penderitaan perbudakan yang dialami, akhirnya melarikan diri dengan menceburkan diri ke laut. Dari yang melarikan diri tidak sedikit juga akhirnya menjemput maut tapi ada juga yang selamat ditolong nelayan (Kompas 22 September 2020).Â
Perbudakan imigran-imingran Indonesia di kapal ikan asing oleh orang asing tidak akan terjadi kalau tidak dimulai dan difasilitasi oleh orang Indonesia sendiri. Diduga perusahaan-perusahaan pengerah tenaga kerja di kota Tegal dan Batam merekrut dengan pola menawari kerja jadi ABK dengan gaji tinggi, padahal tujuan sebenarnya untuk menyerahkan bangsa sendiri untuk menjadi budak oleh bangsa lain.
Bapak-bapak pendiri bangsa telah melakukan tugasnya agar kita lepas dari perbudakan penjajahan dari bangsa asing, tapi sebagian orang malah melakukan kejahatan menyerahkan bangsanya sendiri untuk diperbudak bangsa lain. Sungguh kelakuan ironis dalam mengisi alam kemerdekaan.
Perbuatan keji ini tentu tidak cukup dijerat dengan pasal 378 KUPidana penipuan dengan ancaman hukuman hingga 4 tahun. Pasal 85, 86 Undang2 No 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Pasal 4 Undang2 Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman pidana penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp 15 miliar cocok digunakan untuk menjerat pengkhianat bangsa.
Orang-orang seperti ini sebetulnya bukan hanya sekedar kriminal, seharusnya sudah tidak pantas lagi berdiri dan menghirup udara Indonesia. Pengkhianat bukanlah hanya sekedar pidana, mengkhianati cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan oleh pendahulu-pendahulu dengan pikiran, darah dan ototnya berarti tidak mengakui Indonesia sebagai bangsa merdeka.
Seharusnya pengkhianat-pengkhianat bangsa seperti ini merasa malu kalau belum bertobat atau masih menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan menghirup nafasnya di ranah nyiur melambai, walaupun itu dilakukan dalam penjara sekalipun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H