Dalam rancangan revisi UU Kejaksaan yang baru nantinya Kejaksaan akan diberi kewenangan baru berupa kewenangan penyadapan seperti yang telah dipunyai KPK. Selama ini kewenangan KPK yang diberi kewenangan menyadap dalam menyelesaikan kasusnya membuat iri lembaga2 yang sejenis seperti Polri dan Kejaksaan.
Namun menurut beberapa pakar hukum Rancangan Undang2 Kejaksaan yang baru khususnya tentang penyadapan kebablasan. Kewenangan Kejaksaan dalam menyadap dilakukan seharusnya hanya dalam koridor pidana. Jika dilakukan diluar koridor itu, penyadapan rentan disalah gunakan demi kepentingan tertentu diluar penegakan hukum termasuk kepentingan politik.
Aturan tentang penyadapan diluar hukum tertera pada Pasal 30 (5) huruf g Rancangan revisi Undang2 Kejaksaan. Pasal ini berbunyi " Di Bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan melakukan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi penyadapan dan menyelenggarakan pusat monitoring."
Beberapa kalangan berpandangan bahwa tindakan penyadapan dalam proses pidanapun telah melanggar hak azasi manusia. Pemerintah dan DPR pun semula mengikuti arus pendapat tersebut, sehingga keluarlah UU 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang2 nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, yang membatasi kewenangan penyadapan oleh KPK.Â
Sejak berlakunya perubahan kedua UU KPK, berdasarkan Pasal 12B (1), dalam penyadapan KPK harus dapat izin tertulis dari Dewan Pengawas.  Publik yang  berseberangan dengan Pemerintah memprotes keras atas lahirnya UU tsb.Â
Penyadapan untuk memberantas tindakan pidana korupsi yang luar biasa bukanlah melanggar hak azasi manusia. Melawan tindakan korupsi agar bisa memberantasnya memang harus melakukan upaya luar biasa, termasuk melakukan penyadapan.Â
Adanya izin terlebih dahulu dari Dewan Pengawas, menurut publik merupakan upaya melemahkan taji KPK dalam memberantas korupsi. Publik melawan dengan keras dan massive, bahkan melakukan upaya hukum dengan mengajukan judicial review atas ketentuan UU tsb melalui Mahkamah Konstitusi. Semua upaya masyarakat gagal dan perubahan kedua atas UU KPK tetap berlaku sampai sekarang.
Sekarang sebaliknya terjadi, atas inisiatif DPR dibuat Rancangan UU tentang Kejaksaan yang baru. Entah dalam rangka rivalitas antara lembaga2 penyidik Korupsi (Kejaksaan dan KPK) atau tidak ada niat untuk tujuan membandingkan antara KPK dan Kejaksaan Agung. Tetapi yang jelas dalam revisi rancangan UU Kejaksaan diberi kewenangan baru berupa penyadapan.Â
Alih2 melihat penyadapan bisa melanggar hak azasi manusia, malah dalam rancangan UU diberi kewenangan yang lebih besar dibanding KPK. Sikap DPR sungguh bertolak belakang ketika meloloskan perubahan kedua UU KPK yang membatasi kewenangan penyadapan oleh KPK dengan alasan harus ada kontrol.Â
Malah dalam rancangan UU Kejaksaan,  DPR dalam rancangan revisi UU Kejaksaan memberikan kewenangan untuk melakukan  penyadapan dalam rangka untuk menjaga ketertiban dan ketentraman umum. Alasan "menjaga ketertiban dan ketentraman umum" sangat umum,  berpotensi jadi alasan "pasal karet" untuk bisa ditarik dengan sekehendak hati.
Pasal ini rawan untuk disalah gunakan karena cakupannya luas sekali. Sebagaimana kita ketahui Jaksa Agung dibawah otoritas dan bawahan Presiden langsung. Dengan adanya pasal ini, Presiden bisa2 akan tergoda untuk memakai Kejaksaan Agung untuk memberangus lawan2 politiknya dengan cara "menyadap" siapa saja yang diinginkannya.