Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kampanye Tatap Muka Dilakukan Di Masa Pandemi, Terancam Pidana Penjara

7 September 2020   10:39 Diperbarui: 12 Oktober 2020   18:42 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gibran Rakabuming Raka (Foto: Instagram/gibran_rakabuming)

Sejak tanggal 4 September 2020 rakyat Indonesia akan disuguhi parade cara memperoleh kekuasaan yang demokratis. Tanggal 4 September 2020 merupakan hari pertama untuk pendaftaran bakal calon (balon) Kepala Daerah serentak. Beberapa daerah Perkotaan, Kabupaten dan Propinsi di Indonesia akan memilih pemimpinnya. Jabatan Walikota, Bupati dan Gubernur menjadikan seseorang mempunyai kekuasaan. Dalam alam demokrasi agar bisa memperoleh jabatan tersebut dengan cara ikut pemilihan Kepala Daerah. Nanti rakyat yang akan menentukan pilihannya kepada siapa jabatan atau kekuasaan itu diberikan.

Pemilihan Kepala Daerah serentak kali ini berbeda kondisinya dengan pemilihan2 umum sebelumnya, karena Indonesia, bahkan dunia sedang dilanda pendemi covid 19. Sehingga wasit pemilihan Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat regulasi khusus agar pendemi tidak semakin meluas. Terang2an KPU melarang dan mengingatkan balon agar bisa mengatur para fansnya tidak berkerumun, menggelar arak2an serta tidak mengerahkan massa pada waktu pendaftaran. KPU mengingatkan agar para kontestan dan pengikutnya mengikuti protokol kesehatan. Tetapi apa yang terjadi di lapangan? Berdasarkan pendataan sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kerumunan massa pendukung mengabaikan protokol kesehatan.

Mereka berkerumun tanpa menjaga jarak, malah sebagian tidak menggunakan masker. Padahal masker saat ini identik dengan celana dalam. Harus dipakai setiap saat, cara pakainya juga sama, harus menutupi hidung.

Pada hari pertama pendaftaran terjadi pelanggaran protokol kesehatan  di 141 daerah. Sementara hari kedua pendaftaran yang melanggar protokol kesehatan sebanyak 102 (Kompas, 6 September 2020).

Baru pada tahapan pendaftaran bakal calon, telah terjadi pelanggaran aturan yang dibuat KPU secara massive. Tidak terbayang bagaimana dalam tahap berikutnya, tahap kampanye, tanggal 26 September sampai dengan 5 Desember 2020. Banyak pihak yang kawatir kampanye pilkada kali ini akan menumbuhkan klaster baru penyebaran virus covid-19. Masa kampanye yang relatif lama dan pengerahan massa yang melanggar protokol kesehatan dapat menjadi pemicu penularan virus covid-19 tidak terkendali. Sanksi Peraturan KPU tidak berdaya membuat jeri paslon dan para pengikutnya. Mata kontestan dan pengikutnya seperti tertutup melihat ancaman kengerian ganasnya virus covid-19 beraksi. Massivenya pelanggaran pada waktu pendaftaran telah membuktikan mereka tidak ragu2 untuk melanggar protokol kesehatan.

Ancaman Sanksi Pidana.

Para kontestan Pilkada dan para pengikutnya mungkin berfikir bahwa sanksi aturan KPU tidak menakutkan, sehingga mereka dengan santai melanggarnya. Ingat, itu pemikiran yang sesat dan dangkal. Aturan KPU memang tidak bisa mempidana orang yang melanggar protokol kesehatan, tapi ada KUHPidana dan Undang2 khusus yang mempunyai ancaman hukuman penjara.

Upaya pemerintah untuk membuat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan upaya mencegah dan menangkal keluar masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat. Upaya untuk mengantisipasi potensi kedaruratan kesehatan masyarakat, termasuk dalam lingkup yang diatur dalam UU No 6 tahun tentang Karantina Kesehatan. Apabila ada pengerahan massa yang melanggar protokol kesehatan dalam kampanye Pilkada telah melanggar Pasal 9 (1) dan Pasal 93 Undang2 Karantina Kesehatan. Ancaman hukumannya berupa pidana penjara selama 1 tahun.

Perbuatan melanggar protokol kesehatan dalam kampanye Pilkada juga bisa dinilai telah dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit. Sebagaimana kita ketahui pendemi covid-19 merupakan wabah penyakit yang mematikan. Setiap upaya untuk menghalangi pelaksanaan penanggulangan dapat dijerat dengan Pasal 14 (1) Undang2 No 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Pelaku diancam dengan pidana penjara selama 1 tahun.

Seharusnya para kontestan dan para pengikutnya patuh dengan regulasi KPU tentang cara berkampanye dalam masa pendemi covid-19. Ketidak patuhan bukan hanya sekedar melanggar aturan KPU tapi juga melanggar aturan pidana bila ada perintah bubar dari aparat pada waktu kerumunan massa terjadi. Apalagi bila ada perlawanan ngotot dari pengikut yang fanatik terhadap aparat di lapangan yang berusaha membubarkan massa pengikut kampanye. Aparat kepolisian bisa menjerat mereka dengan Pasal 212 dan Pasal 218 KUHPidana dengan ancaman hukum pidana penjara maksimal 1 tahun 4 bulan.

Para kontestan Pilkada tidak bisa berkilah dan tidak mau bertanggung jawab dengan alasan tidak tahu atau berkerumunnya massa adalah inisiatif sendiri para fans. Pasal 55 KUHPidana tidak sependapat, karena memberi kesempatan, menyediakan sarana juga dianggap telah ikut serta melakukan tindak pidana. Apalagi apabila terbukti adanya ajakan dan anjuran untuk hadir berame2 dari para kontestan bagi pengikutnya untuk berkampanye.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun