Banyak motivasi orang untuk bersepeda. Kalau jaman dulu bersepeda yang dinamakan juga berkereta angin, merupakan alat transportasi utama. Julukan kereta angin mungkin karena kereta ini apabila dikayuh menimbulkan angin yang menerpa ke tubuh dan muka pemakainya.
Mekanisme motor penggerak sepeda bersumber dari kayuhan kaki orang yang menunggang sepeda. Gerakan kayuhan kaki akan membuat sepeda melaju dan siap membawa penunggangnya ke tujuan yang dikehendaki. Karena alasan inilah, beberapa kalangan yang ingin langsing melakukan diet dengan bersepeda.Â
Timbunan lemak yang berlebih mereka bakar menjadi energi dengan cara mengayuh sepeda. Malah yang sudah langsingpun keranjingan bersepeda. Sepeda memang mengasyikkan, kalau sudah dapat candunya, kata orang2 bisa lupa sama anak dan isteri/suami. Bersepeda menyehatkan sekaligus mendapat pengalaman melihat2 sekitar jalan yang dilalui (sight seeing).
Sementara itu, sebagian orang memilih bersepeda sebagai profesi. Banyak atlit2 sepeda profesional yang menjadikan mengayuh sepeda untuk mencari nafkah. Atlit sepeda yang berpatisipasi di Tour de France atau2 Tour2 ternama dunia selain jadi selebritas dunia juga merupakan miliuner dengan jumlah kekayaan fantastis.Â
Sekali saja jadi juara pertama di Tour de France bisa dapat hadiah 500 ribu Euro sekitar Rp 8 milyar (kurs euro setara Rp 16.000,-). Christopher Froome team balap sepeda Sky Kenya yang pernah memenangkan juara dua kali Tour de France bisa mengumpulkan penghasilan 3 juta Pound Sterling setahun.
Ada juga pesepeda ingin berlagak, pamer. Kok bisa? Sepeda kan bukan barang mewah. Sepeda kan identik dengan guru miskin dipedesaan. Guru Umar Bakri yang dinyanyikan Iwan Fals. Itu dulu.Â
Sejak ada brand sepeda luar negeri buatan Inggris,  sepeda tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Harganya selangit, dari yang paling murah puluhan juta sampai yang paling mahal ratusan juta rupiah seharga rumah tipe kecil. Sepeda  jenis ini bisa mengangkat harga diri penunggangnya melayang ke angkasa.
Sejak merajalelanya virus covid 19 di Indonesia yang menimbulkan pendemi, pada saat yang sama  timbul pula fenomena demam bersepeda. Semakin banyak orang memacu sepeda di jalan raya supaya sehat dan kuat melawan ancaman virus covid 19 yang mematikan.Â
Bersepeda dipercayai meningkatkan daya tahan tubuh dari gempuran virus. Sekaligus trend bersepeda bisa memuaskan ego narsis yang terpendam. Selain bisa memamerkan brand sepeda tertentu, aksesori sepeda juga mahal dan fashionable. Baju dan celana ketat berwarna warni dilengkapi dengan helm, glove, dll, tersedia baik secara daring maupun di toko2.Â
Media sosial dengan tangan terbuka membuka peluang untuk uju, bernarsis ria. FB, Instagram, Group2 WA dan media sosial lainnya bejibun dipenuhi photo2 orang bersepeda dengan berbagai tingkah dan gaya baik berkelompok maupun sendiri2.
Semua motivasi dan kondisi tentang bersepeda menyatu berkulindan menjadikan kegiatan nunggang sepeda menjadi massive.
 Bahkan salah satu komunitas sepeda mendirikan khusus "rumah singgah" bagi pesepeda dengan berbagai fasilitas di Bintaro dekat Jakarta Selatan. Setiap pesepeda diterima dengan senang hati di rumah singgah.
Setiap weekend jalanan Jakarta dan kota2 besar di Indonesia dibanjiri para pesepeda. Car free day (jalan bebas kendaraan bermotor) di Jakarta penuh sesak dengan pesepeda, sehingga pemerintah kawatir kalau virus covid 19 akan makin marak penyebarannya. Protokol kesehatan untuk menjaga jarak sudah diabaikan para pesepeda. Pemprop DKI Jakarta sempat meniadakan "car free day" menindak lanjuti kekhawatiran pendemi covid 19 merebak.
Penjualan sepedapun  meningkat signifikan, malah untuk merk tertentu tidak ready stock, harus pre order dan antri dulu kalau mau beli.
Usulan Gubernur DKI Jakarta.
Ditengah hebohnya bersepeda, Gubernur DKI Anies Baswedan mencuri perhatian yang sempat jadi viral di media sosial dan media mainstream baik cetak maupun elektronik
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengusulkan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Mentri PUPR) agar masyarakat diperbolehkan bersepeda di jalan tol.Â
Gubernur DKI mempunyai ide untuk menggunakan ruas tol dalam kota tertentu untuk digunakan pesepeda. Sebagaimana kita ketahui jalan tol dibawah otoritas Kementrian PUPR walau berada di wilayah DKI Jakarta.Â
Gubernur DKI Jakarta tidak punya kewenangan atas kebijakan penggunaan jalan tol lingkar dalam Jakarta. Oleh karena itu Gubernur DKI mengusulkan sebagian ruas jalan tol dalam kota, sejak dari Cawang sampai Tanjung Priok bisa juga digunakan pesepeda.Â
Usulan ini memang tidak setiap hari atau setiap waktu, tapi hanya dalam jam2 Â tertentu saja setiap akhir minggu/weekend. Itupun bukan untuk setiap pesepeda, hanya khusus untuk jenis "road bike" yaitu pesepeda yang bisa mengayuh laju sepedanya antara 30km - 40km per jam. Nampaknya fasilitas jalan tol ini akan diperuntukan bagi pembalap sepeda atau pesepeda amatir yang sudah terlatih.
Usulan Gubernur Anies membuat kontroversi di tengah masyarakat. Masyarakat terbelah dua dengan opini yang saling bertentangan. Yang tidak setuju bersikukuh bahwa ide ini mengancam keamanan pesepeda, bahkan ada yang berteriak ekstrim bahwa Gubernur DKI mempunyai niat melakukan pembunuhan massal terhadap warganya. Bagi yang setuju memandang ini adalah solusi brilian Gubernur DKI dalam menjawab aspirasi warganya.Â
Kita tidak akan membahas dan terlibat dengan polemik pro dan kontra ini. Biarlah Menteri PUPR Basuki Hadi Muljono yang akan membahas dan memutuskan kebijakan bisa tidaknya bersepeda di jalan tol. Toh usulan yang dilakukan Gubernur DKI dibarengi dengan study dan pengamatan mendalam yang dibuat para ahli.Â
Menteri PUPR pun bisa minta study lanjutan apabila tidak yakin dengan study yang sudah ada. Yang perlu kita lihat, apabila ternyata disetujui oleh Mentri PUPR aturan apa saja yang perlu dipersiapkan.
Ketentuan Bersepeda di Jalan Tol.
Pasal 3 (a) Undang2 No 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU Lalu Lintas) mengamanatkan bahwa lalu lintas diselenggarakan dengan tujuan aman, selamat dan tertib. Menteri PUPR tentu tidak akan mengkhianati amanat undang2 dalam membuat kebijakan. Seandainya bersepeda diperbolehkan di jalan tol pasti masalah keamanan dan keselamatan merupakan pertimbangan utama. Bagaimana tekhnisnya? Liat aja pelaksanaannya nanti, kalau jadi.
Sampai saat ini belum ada aturan yang membolehkan mengendarai sepeda di jalan tol. Bersepeda di jalan tol dikatagorikan sebagai tingkah illegal alias perbuatan melawan hukum. Kalau nanti memang diperbolehkan akan terjadi perubahan2 aturan terlebih dahulu agar bersepada menjadi legal di jalan tol.
Pasal 1 (7) Peraturan Pemerintah (PP) no 15 tahun 2005 dengan tegas menyatakan hanya kendaraan beroda 4 atau lebih yang boleh melewati jalan tol dengan dipungut biaya alias membayar.
Karena adanya perkembangan kebutuhan, ternyata sepeda motorpun memerlukan jalan tol : misal dengan selesainya tol Surabaya Madura (tol Suramadu). Maka 4 tahun kemudian sejak PP No 15 tahun 2005 dikeluarkan, terbitlah PP No 44 tahun 2009.Â
Tugas PP yang baru merevisi PP No 15 tahun 2005 yang membolehkan kendaraan roda dua melintas di ruas jalan tol. Aturan ini juga akan digunakan oleh jalan tol Bali Mandara yang membolehkan sepeda motor melewatinya.
Sesuai dengan ketentuan UU Lalu Lintas, sepeda bukanlah kendaraan bermotor, sehingga PP No 44 tahun 2009 tidak bisa dijadikan pedoman bagi sepeda. Jadi kalau nanti diperbolehkan melewati tol maka PP yang disebutkan diatas harus dirubah lagi.
Kalau dulu dirubah dari kendaraan bermotor roda empat/lebih, menjadi kendaraan bermotor roda dua, maka perlu dirubah lagi untuk ketentuan kendaraan tidak bermotor/sepeda.
Materi perubahan bisa lebih dari itu karena ada ketentuan kendaraan yang melintas di tol juga harus membayar. Apakah pesepeda akan bersedia membayar ? Kalau tidak, maka materi perubahan harus ditambahkan pula khusus untuk sepeda gratis (tidak membayar).
Perubahan lain yang perlu disesuaikan adalah tentang batas minimal kecepatan. Pasal 11 UU Lalu Lintas dan Pasal 5 (2) PP 15 tahun 2005 mengatur bahwa kecepatan minimal tol dalam kota 60 km/jam.Â
Pesepeda jenis road bike hanya mampu menggeber kecepatan sekitar 30 atau 40 km/jam. Kemampuan laju sepeda road bike ternyata tidak bisa mencapai batas minimal aturan kecepatan jalan tol.Â
Artinya perlu aturan baru batas kecepatan minimum di jalan tol yang disesuaikan dengan kemampuan kecepatan laju sepeda. Kalau tadi tentang kendaraan yang boleh melintas perlu penyesuaian pada PP. Untuk melegalkan minimal kecepatan kendaraan di tol juga perlu perubahan PP.
Batas minimal kecepatan kendaraan di tol selain diatur dalam PP juga diatur dalam UU. Akibatnya agar bisa mengakomodir kecepatan minimal sesuai kemampuan sepeda, maka selain PP, UU Lalu lintas pun harus dirubah.Â
Untuk merubah UU lebih rigid dibanding merubah PP. Suatu Undang2 secara hirarkis perundang2an lebih tinggi derjadnya daripada PP. Merubah UU tentu lebih sukar dan membutuhkan waktu relatif lama dibandingkan merubah PP.
Apakah ide kreatif Gubernur DKI Anies Baswesdan akan menuju jalan buntu bertemu hadangan tembok peraturan per Undang-Undangan, sehingga berhenti hanya sebatas ide?
Atau nanti kita bisa berkata ke tetangga dengan ajakan : "sepedaan yuk ke tol".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI