Pengacara adalah seorang profesional hukum yang memiliki kualifikasi untuk memberikan nasihat hukum dan mewakili klien mereka dalam proses hukum. Tugas utama pengacara adalah memberikan nasihat hukum kepada klien mereka, menyusun dokumen hukum, dan mewakili klien di pengadilan atau forum hukum lainnya.
Pengacara diatur oleh peraturan dan undang-undang yang berbeda di setiap negara. Di Indonesia, pengacara diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-undang ini menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi seorang pengacara, seperti lulus ujian pengacara, memiliki integritas moral dan profesionalisme yang tinggi, dan tidak memiliki konflik kepentingan dengan klien yang akan diwakilinya. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur kewajiban dan etika yang harus dipatuhi oleh pengacara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Tugas dan Fungsi Pengacara ketika Berhubungan dengan KlienÂ
Ketika Pengacara menjalankan profesinya berhubungan dengan klien seorang Pengacara melaksanakan tugas dan fungsinya meliputi hal-hal sebagai berikut ;
1. Memberikan nasihat hukum:
Pengacara bertugas memberikan nasihat hukum kepada klien mereka terkait dengan masalah hukum yang dihadapi klien. Pengacara harus menjelaskan secara jelas dan terperinci mengenai hak-hak dan kewajiban klien, serta memberikan saran yang tepat dalam menyelesaikan masalah hukum tersebut.
2.Merepresentasikan klien:Â
Pengacara bertindak sebagai wakil klien dalam proses hukum dan mewakili kepentingan klien di pengadilan atau forum hukum lainnya. Pengacara juga bertanggung jawab untuk menyusun dan mempersiapkan dokumen-dokumen hukum yang diperlukan dalam proses hukum.
3. Melindungi hak-hak klien:Â
Pengacara memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak klien dan memastikan bahwa klien mereka tidak dirugikan secara hukum. Pengacara harus memastikan bahwa proses hukum yang dihadapi klien berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan tidak ada diskriminasi atau perlakuan yang tidak adil terhadap klien.
4. Menjaga kerahasiaan klien:Â
Pengacara memiliki kewajiban untuk menjaga kerahasiaan klien dan tidak mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia tanpa persetujuan klien atau tuntutan hukum yang sah.
5. Membantu negosiasi:Â
Pengacara dapat membantu klien dalam proses negosiasi dengan pihak lain dalam rangka mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi klien.
6. Memberikan edukasi hukum:Â
Pengacara dapat memberikan edukasi hukum kepada klien mengenai hak dan kewajiban mereka dalam berbagai situasi, sehingga klien dapat lebih memahami permasalahan hukum yang dihadapi dan dapat mengambil keputusan yang tepat.
Pengacara Mungkin Saja Kebablasan Menjalankan Tugas dan Fungsinya.
Dalam praktik di lapangan, hubungan antara Pengacara dengan klien sangat unik dan penuh dengan dinamika. Salah satunya yang kontroversial dan menjadi pertanyaan di masyarakat adalah masalah buronan. Petugas hukum susah payah mengejar buronan, sedangkan Pengacara dengan leluasa berhubungan dengan kliennya yang nota bene adalah buronan yang sedang dicari-cari petugas hukum.
Misalnya buronan Nurhadi eks Sekjend Mahkamah Agung yang tertangkap, maupun buronan Joko Tjandra yang lolos, menarik perhatian masyarakat.
Apakah Pengacara buronan tersebut dapat juga ditangkap karena pihak Pengacara leluasa berkomunikasi dengan buronan, padahal baik Polisi maupun Kejaksaan sudah pontang-panting  kesusahan menangkap sang buronan?
Berdasarkan pasal 16 UU no 18.tahun 2003 Pengacara punya hak imunitas untuk dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan profesinya asal dilakukan dengan itikad baik. Selain itu sesuai dengan pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seseorang tidak dapat dipidana bila sedang menjalankan ketentuan Undang-Undang.
Jadi dapat disimpulkan secara sederhana bahwa Pengacara yg sedang menjalani pembelaan atas kliennya baik didalam maupun diluar pengadilan sedang menjalankan perintah Undang-Undang dan oleh karena dilakukan dengan itikad baik maka Pengacara tersebut punya hak imunitas (tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana).Â
Kasus Nurhadi jelas sekali Pengacaranya intens berkomunikasi dengan kliennya dalam rangka pengajuan praperadilan yang nota bene adalah hak seseorang yg diberikan Undang-Undang. Begitu juga Pengacara Joko Tjandra berkomunikasi dengan Pengacaranya dalam rangka Pengajuan Peninjauan Kembali yang juga merupakan hak yang diberikan oleh Undang-Undang bagi setiap warga negara.Â
Sejauh komunikasi antara Pengacara dengan klien untuk urusan pembelaan yg dibenarkan oleh Undang-Undang dan dilakukan dengan itikad baik maka Pengacara punya hak imunitas.Â
Salah satu cara lain untuk menguji itikad baik baik Pengacara adalah dg menguji unsur ketentuan Pasal 221 ayat 1 KUHPidana tentang pidana bagi yg menyembunyikan buronan.Â
Perbuatan menyembunyikan buronan jelas merupakan tindak pidana sesuai pasal diatas. Dalam perumusan pasal tersebut disebutkan bahwa perbuatan menyembunyikan harus dilakukan dengan sengaja. Artinya rumusan "menyembunyikan dg sengaja" adalah suatu perbuatan aktif. Berkomunikasi dengan buronan seharusnya tidak masuk katagori unsur sengaja sebagaimana dimaksud pasal tersebut.
Kecuali Pengacara melakukan perbuatan aktif seperti terbukti mencari dan menyewakan rumah atau  hotel untuk tempat persembunyian. Tindakan aktif sebagaimana dicontohkan diatas  jelas sudah tidak memperlihatkan itikad baik sehingga memenuhi unsur pasal 221 (1) KUHPidana, sehingga Pengacara tersebut telah kebablasan menjalankan tugas dan fungsinya dan dapat dilakukan penangkapan juga seperti kliennya dan bisa dihukum pidana penjara. Jadi sejauh Pengacara berkomunikasi dalam menjalankan tugasnya dengan klien yang buron sesuai ketentuan Undang-Undang, tidak kebablasan, maka Pengacara punya hak imunitas dan tidak bisa dipidana karena menyembunyikan buronan.
Itikad baik adalah suatu frasa yg terjadi dalam diri seseorang, cara untuk membuktikan ada atau tidak adanya itikad baik dengan cara menguji apakah suatu perbuatan telah melanggar suatu norma.Â
Apakah Pengacara yg tidak memberikan nomor telpon kliennya  kepada pihak yg berwajib melanggar Undang-Undang?  Dalam rumusan Pasal 221 (1) pidana menyembunyikan buronan, sebagaimana telah dijelaskan di atas harus dilakukan dengan "sengaja". Kata sengaja disini diartikan sebagai perbuatan aktif. Sebagai ilustrasi untuk menjelaskan dengan sengaja adalah perbuatan aktif misalnya A mengetahui bahwa di rumah B ada buron, kemudian A tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib keberadaan buronan tersebut. A tidak bisa dijerat dengan Pasal 221 menyembunyikan buron karena tidak memenuhi unsur "sengaja" tsb, tapi B bisa.
Demikian juga masalah nomor ponsel klien buron yang dimiliki oleh Pengacaranya. Pengacara tersebut tidak ada kewajiban menyerahkan nomor ponsel kliennya kepada pihak yang berwajib, karena nomor ponsel merupakan salah satu data pribadi yang harus dirahasiakan dan hanya dengan persetujuan yang memiliki boleh untuk diberikan kepada pihak lain. Status buron bukan berarti seseorang kehilangan haknya atas perlindungan data pribadi. Walaupun demikian apabila pihak yang berwajib meminta data nomor ponsel klien yang buron secara  resmi atas nama hukum, maka Pengacara wajib menyerahkan data tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H