Ketika Eropa berhasil menjelajahi ujung-ujung bumi sambil membawa senjata api di tangan, satu per satu peradaban-peradaban besar di masa sebelumnya bertumbangan.
Berbekal kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, satu per satu, benua-benua di dunia mereka jajaki.
Negara-negara yang secara ukuran luas dan jumlah populasinya itu kecil, Inggris, Belanda, Spanyol, Portugal, bisa menjajah dan mengobok-obok seantero Afrika dan Asia. Negara besar (secara ukuran luas dan jumlah penduduk) seperti India dan China pun jadi mainan mereka.
Apalagi Indonesia yang waktu itu masih terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan yang berbeda.
------------
Sejarah sudah membuktikan berkali-kali, mulai dari jaman Romawi sampai dengan jaman-nya Marcopolo. Mulai dari jamannya Perang Dunia I dan II, dan tentu juga masih berlaku sampai saat ini.
Bangsa yang berhasil mengungguli bangsa lain dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kemampuan untuk dengan leluasa, baik secara langsung maupun tidak langsung, menjulurkan tangan dan menguasai bangsa yang kalah unggul di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.Â
Yang tertinggal akan gigit jari, melihat bangsa lain jadi tuan di negerinya sendiri.
------------
Belajar dari sejarah, maka mestinya kita pun, jangan mau tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi.
Akan tetapi kenyataannya, sering kita baca, bahwa persentase anggaran negara kita untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan saja relatif kecil, bahkan sempat saya baca, dikatakan yang terkecil di lingkup ASEAN. Ini belum lingkup dunia, belum berkompetisi dengan negara maju lainnya. Baru di lingkup ASEAN.
Miris? Sedih?
Ya.
Solusinya apa?Â
Saya tidak tahu.
Namun saya bisa membayangkan resiko dan ancamannya bagi bangsa dan negara kita ini, kalau kita masih terus abai dengan penelitian dan pendidikan.
Coba bayangkan sebuah lomba balap dengan track yang sangat panjang. Lalu di tiap 10 Km akan disediakan alat bantu bagi peserta lomba yang bisa membantu mereka untuk sampai ke garis finish dengan lebih cepat.
Di titik kilometer ke-10, disediakan sepeda kayuh.
Di titik kilometer ke-20, disediakan sepeda motor 100cc.
Di titik kilometer ke-30, disediakan mobil mini van 1000cc.
Di titik kilometer ke-40, disediakan sebuah mobil balap.
Di titik kilometer ke-50, disediakan sebuah helikopter.
Dst.
Bisakah anda membayangkan, bagaimana jalannya perlombaan itu? Pada satu titik, perlombaan itu sudah tidak ada gunanya lagi dilanjutkan, karena salah satu peserta akan berhasil mendapatkan bantuan alat transportasi yang jauh lebih mumpuni dibandingkan peserta-peserta lainnya.
Kalau ini sebuah perlombaan antar bangsa dan negara, dengan titik-titik check point itu adalah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kita sekarang ada di posisi mana?Â
Apakah kita memilih duduk saja di pinggir jalan, menyerah untuk berlomba karena tahu kita tidak mungkin lagi untuk menang?
Atau mungkin saat ini kita masih punya kesempatan untuk menang? Berusaha mengerahkan segenap kekuatan dan tetes keringat terakhir untuk menyamakan kedudukan?
Saya yakin dan percaya, kita masih punya kesempatan.
Namun jangan berleha-leha, waktunya semakin lama semakin sedikit bagi kita untuk mengejar ketertinggalan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H