Mohon tunggu...
Handoko
Handoko Mohon Tunggu... Programmer - Laki-laki tua yang masih mencari jati diri.

Lulusan Elektro, karyawan swasta, passion menulis. Sayang kemampuan menulis cuma pas-pasan. Berharap dengan join ke kompasiana, bisa dapat pembaca yang menyukai tulisan-tulisan receh saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anggaran Dana Desa Rawan Korupsi, Lanjutkan atau Hentikan?

20 September 2021   14:18 Diperbarui: 20 September 2021   14:21 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gbr diambil dari: unsplash.com

Laporan dari ICW mengatakan kucuran anggaran untuk Dana Desa, rawan jadi ajang korupsi. Membaca laporan itu, saya yakin tidak banyak orang yang terkejut, kebanyakan mungkin malah menganggap itu berita basi.  Bukan kejutan, sudah umum, bukan berarti kemudian boleh dibiarkan. Memaklumi dan memahami kenapa bisa terjadi, mungkin iya, tapi tidak kemudian kita membenarkan.

Jadi perlu diputuskan dan dipikirkan, kalau anggaran Dana Desa rawan jadi ajang baru bagi para koruptor. Apakah tidak sebaiknya, program Dana Desa ini dihentikan, daripada anggaran jadi bocor?

Ada banyak cara untuk memandang permasalahan ini. Ada macam-macam sudut pandang dan argumentasi. Saya sendiri tergoda ingin ikut beropini. Tentu ini hanya sebuah opini pribadi, yang tidak banyak dasar referensi. Maklum, saya ini bukan orang yang ahli di bidang ini.

Menurut saya, permasalahan Anggaran Dana Desa yang jadi ajang korupsi, sebenarnya tidak begitu jauh berbeda dengan masalah pemilihan presiden langsung yang kemudian menyebabkan gesekan yang panas di masyarakat. Atau program BPJS yang kedodoran dalam pelaksanaan dan jumlah anggaran yang membengkk.

Idenya tidak salah, kebijakannya tidak salah, arah perubahannya itu sudah ke arah yang benar. 

Akan tetapi ... manusia-manusianya belum siap. Sebagian dari pelaku-pelakunya (bukan hanya pemangku wewenang, tapi juga termasuk masyarakatnya) masih memegang paradigma yang lama.

Akibatnya kebijakan yang baik, dikerjakan oleh pelaku-pelaku yang masih belum bisa melepaskan diri dari nilai-nilai lama, hasilnya jadi kurang baik.

Kalau begitu, apakah kemudian sebaiknya kebijakan itu ditunda. Ditunda sampai masyarakatnya siap untuk hidup dengan kebijakan yang baru itu?

Di sini menurut saya, akhirnya kita akan terjebak pada sebuah pertanyaan, yang mirip-mirip tebakan anak kecil jaman dahulu, "Lebih dahulu mana, ayam atau telur?"

Manusia bisa berubah, kalau sistem tempat dia hidup berubah. Sistem juga bisa berubah, ketika manusia-manusia yang menjalankannya berubah. Lalu mana yang lebih dahulu diubah, supaya mendapatkan hasil yang terbaik? Mengubah dahulu karakter manusia-manusianya? Atau mengubah dahulu kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang menaungi dinamika kerja manusianya?

Dalam realita yang menyangkut sedemikian banyak manusia dengan karakter yang berbeda, tentu tidak semudah berteori di atas kertas.

Seaman apa pun sebuah sistem, toh tetap yang menjalankan adalah manusia. Celah untuk korupsi akan selalu ada, ketika pelaku-pelakunya masih permisif terhadap budaya korupsi. Lalu apakah kita berfokus saja pada bidang pendidikan, supaya manusia-manusianya berubah, yang lain tahan dulu sampai itu terjadi secara luas?

Menurut saya itu juga tidak realistis. 

Slogan "Revolusi Mental" sudah tercetus, tapi butuh waktu lama sebelum dia bisa terealisasi.

Sambil menunggu slogan itu jadi kenyataan, pemerintah dan perangkat legislatif tidak boleh berhenti melakukan perubahan-perubahan pada UU, aturan, dan juga kebijakan, untuk menuju pada negara yang lebih baik.

Anggaran Dana Desa lahir dari motivasi yang baik, punya tujuan yang baik dan jika digunakan dengan benar akan menjadi salah satu penggerak ekonomi pedesaan. Dia bisa menjadi salah satu motor utama dalam upaya pemerintah untuk menjalankan sila ke 5 dari Pancasila. 

Maka dari itu dia harus tetap ada, tanpa menutup mata pada kebocoran-kebocoran yang terjadi. Tugas kita bersama (bukan hanya para pejabat yang berwenang), untuk memastikan bahwa anggaran itu bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi kemakmuran bersama.

Bagaimana dengan kebocoran-kebocoran yang masih terjadi sambil menunggu perbaikan sistem dan manusianya?

Kalau orang Jawa bilang, "Jer basuki mawa beya."

Yang bocor dimakan koruptor, pandang sebagai pengorbanan yang memang mesti dilalui. Mau mulia, mau maju, ya memang pasti harus ada harga yang dibayar.

Tentu saja bukan berarti dibiarkan, tapi juga jangan mundur dari perubahan yang baik karena masalah yang muncul. 

Terus perbaiki yang kurang, jangan hilangkan yang sudah baik. Tetap gigih berjuang, selalu percaya dan berharap. Satu waktu nanti, Indonesia akan mencapai cita-citanya. Masyarakat berperi kemanusiaan, sejahtera, adil dan makmur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun