Dalam realita yang menyangkut sedemikian banyak manusia dengan karakter yang berbeda, tentu tidak semudah berteori di atas kertas.
Seaman apa pun sebuah sistem, toh tetap yang menjalankan adalah manusia. Celah untuk korupsi akan selalu ada, ketika pelaku-pelakunya masih permisif terhadap budaya korupsi. Lalu apakah kita berfokus saja pada bidang pendidikan, supaya manusia-manusianya berubah, yang lain tahan dulu sampai itu terjadi secara luas?
Menurut saya itu juga tidak realistis.Â
Slogan "Revolusi Mental" sudah tercetus, tapi butuh waktu lama sebelum dia bisa terealisasi.
Sambil menunggu slogan itu jadi kenyataan, pemerintah dan perangkat legislatif tidak boleh berhenti melakukan perubahan-perubahan pada UU, aturan, dan juga kebijakan, untuk menuju pada negara yang lebih baik.
Anggaran Dana Desa lahir dari motivasi yang baik, punya tujuan yang baik dan jika digunakan dengan benar akan menjadi salah satu penggerak ekonomi pedesaan. Dia bisa menjadi salah satu motor utama dalam upaya pemerintah untuk menjalankan sila ke 5 dari Pancasila.Â
Maka dari itu dia harus tetap ada, tanpa menutup mata pada kebocoran-kebocoran yang terjadi. Tugas kita bersama (bukan hanya para pejabat yang berwenang), untuk memastikan bahwa anggaran itu bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi kemakmuran bersama.
Bagaimana dengan kebocoran-kebocoran yang masih terjadi sambil menunggu perbaikan sistem dan manusianya?
Kalau orang Jawa bilang, "Jer basuki mawa beya."
Yang bocor dimakan koruptor, pandang sebagai pengorbanan yang memang mesti dilalui. Mau mulia, mau maju, ya memang pasti harus ada harga yang dibayar.
Tentu saja bukan berarti dibiarkan, tapi juga jangan mundur dari perubahan yang baik karena masalah yang muncul.Â