Mohon tunggu...
Handoko
Handoko Mohon Tunggu... Programmer - Laki-laki tua yang masih mencari jati diri.

Lulusan Elektro, karyawan swasta, passion menulis. Sayang kemampuan menulis cuma pas-pasan. Berharap dengan join ke kompasiana, bisa dapat pembaca yang menyukai tulisan-tulisan receh saya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Child Free Sebuah Pilihan Transendental yang Melawan Dorongan Alam

1 September 2021   15:57 Diperbarui: 1 September 2021   16:10 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gbr diambil dr Kompas.com

Sedang ramai topik "child-free", setelah beberapa public figure melontarkan sekilas tentang keputusan mereka untuk tidak memiliki keturunan. Tentu masing-masing orang memiliki argumennya, tidak ada yang salah dari sudut pandang mereka yang memilih untuk tidak memiliki keturunan.

Harus diakui, bila populasi manusia yang berkembang melampaui kapasitas kemampuan bumi untuk menyediakan kebutuhannya, pertambahan populasi bisa menjadi sebuah masalah. Apalagi ketika masing-masing insan manusia yang hidup di dunia itu, ingin standard hidup yang tinggi. Semakin berat lagi beban yang harus ditanggung bumi akibat proses eksploitasi manusia terhadap sumber daya alam.

Alam memang memiliki kemampuan untuk beregenerasi, memulihkan diri setelah dieksploitasi oleh penghuni-penghuninya. 

Yang jadi masalah adalah, kemampuan manusia untuk mengeksploitasi alam semakin lama semakin meningkat dengan berkembangnya teknologi untuk melakukan hal itu. Ditambah dengan jumlah populasinya yang juga makin meningkat. Jadi dari segi kualitas dan kuantitas, eksploitasi alam itu meningkat pesat. 

Jadi argumen Cinta Laura itu ada benarnya.

Apalagi ketika Cinta Laura mengatakan bahwa, daripada melahirkan anak sendiri, dia lebih memilih untuk mengadopsi anak-anak yang membutuhkan orang tua.

Namun yang namanya hidup dalam sebuah masyarakat, tentu tidak semuanya akan sepaham. Maka ramailah orang menanggapi pernyataan Cinta Laura itu, ada yang pro dan ada yang kontra.

Bukankah melanjutkan keturunan adalah bagian dari kodrat kita sebagai manusia? Bukankah memilih untuk tidak memiliki keturunan itu melawan kodrat kita sebagai manusia? Selain juga ada semacam "kecurigaan" terhadap alasan tersebut. Semurni itukah alasan di balik keputusan untuk tidak memiliki anak?

Menurut saya, bukan hak kita untuk meng"investigasi" isi hati seseorang yang bukan sanak, bukan kadang. Apalagi berkenaan dengan satu keputusan yang sangat pribadi sifatnya.

Jika berasumsi bahwa alasan yang diajukan Cinta Laura itu, memang murni demikian. Maka saya sebagai seseorang yang tidak mampu untuk mengambil keputusan yang se-"selfless" itu, ingin memberikan "applause" untuk keputusan Cinta Laura memilih child-free.

Sebuah pilihan yang berlawanan dengan dorongan alamiah kita sebagai hewan yang berakal budi. Mendahulukan logika dan akal, dibandingkan dorongan alamiahnya.

NB : Cuma kenapa pilihan katanya adalah "child-free", atau bebas dari anak, seakan-akan konotasinya menjadi sesuatu yang berbeda. Seakan-akan anak dipandang sebagai beban, dan pilihannya adalah membebaskan diri dari beban tersebut.

Mungkin perlu juga dipikirkan secara bahasa, istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan pilihan Cinta Laura tersebut.

Salam....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun