Dahulu ada banyak tokoh-tokoh dalam sejarah negeri ini yang pantas menyandang gelar "Manusia yang Punya Integritas". Tulisan-tulisan tentang pemikiran mereka bisa kita baca dan selaraskan dengan kisah hidup mereka. Bung Hatta yang membeli sepatu kulit pun harus menabung dan akhirnya tidak pernah terbeli semasa hidupnya. Panglima Sudirman yang rela bergerilya dalam kondisi sakit. Jenderal Hoegeng yang berani menentang pejabat tinggi bahkan presiden, demi menegakkan keadilan. Ir. Sutami yang terkenal sederhana dan masih banyak-banyak lagi nama-nama lain bertebaran menghiasi sejarah negeri ini.
Namun sekarang betapa sulitnya menemui sosok-sosok seperti mereka.
Yang menghiasi surat kabar, TV dan media sosial, justru sosok-sosok yang berkata tidak pada korupsi, bahkan terekam nasehatnya pada bawahan-bawahannya agar tidak korupsi, tapi kemudian tersangkut kasus korupsi.
Yang menghiasi surat kabar, TV dan media sosial, justru sosok-sosok yang harusnya mewakili rakyat kecil, tapi justru menghabiskan dana milyaran untuk sesuatu yang sifatnya hanya atribut, padahal ekonomi negara sedang dalam kondisi yang memprihatinkan.
Yang menghiasi surat kabar, TV dan media sosial, justru sosok-sosok yang kata orang Jawa, "Esuk Tempe, Sore Dele."
Kalau paginya kedelai, sorenya jadi tempe, itu bagus, artinya ada proses kemajuan. Kalau paginya tempe, sorenya jadi kedelai, itu mengundang pertanyaan. Antara perkataannya itu sebuah kebohongan, atau terjadi kemunduran.
----
Entah sejak kapan tapi integritas sepertinya sudah mati di negeri ini. Nilai yang dulu pernah hidup subur, perlahan menghilang dan membusuk. Digantikan dengan kata murahan "pencitraan".
Tak peduli apa isi otak dan hatimu. Tak peduli bagaimana perbuatanmu. Yang penting adalah bagaimana media membentuk citra dirimu. Rakyat disuguhi dengan berbagai drama untuk memoles sosok seorang tokoh. Tidak masalah bila orang tersebut tidak seperti apa yang ditampilkan di depan umum, yang penting orang tersebut disukai oleh banyak orang dan bisa dikendalikan.
Tokoh yang benar-benar punya integritas, justru tidak disukai, karena mereka sulit disetir dan seringkali kepentingan-kepentingan kelompok yang berkuasa, akan berbenturan dengan integritas tokoh tersebut. Maka citra lain pun disematkan pada tokoh-tokoh seperti itu, dipoles dengan kasak-kusuk sedemikian rupa, sehingga rakyat tidak menyukainya.Â
Lalu beramai-ramai kita "membunuh"-nya, karena kita lebih menyukai kata-kata yang manis, daripada kebenaran yang menyakitkan. Kita lebih menyukai bersenang-senang sekarang dan biar anak-cucu kita bersakit-sakit kemudian, daripada bersakit-sakit dahulu demi anak cucu di masa depan.