Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Dilema Eksistensi Angkutan Roda Tiga di Jakarta

4 Oktober 2022   12:37 Diperbarui: 4 Oktober 2022   19:25 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jejaring transportasi umum di kota Jakarta merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Integrasi antar moda yang saling melengkapi, menjadi keunggulan yang belum bisa disamai oleh kota-kota lain.

Hanya saja Jakarta masih menyisakan persoalan warisan masa lalu, yakni angkutan penumpang roda tiga.

Selain memiliki rute yang tak jelas, angkutan jenis ini juga membawa banyak persoalan lain di dalamnya.

Saya menghindari penyebutan istilah "Bajaj", sebagaimana lazim digunakan oleh masyarakat. Sebab Bajaj sendiri merupakan merk dagang otomotif modern, yang tak lagi pas jika hanya diasosiasikan dengan kendaraan roda tiga.

Di Jakarta angkutan jenis ini masih sering dijumpai berlalu-lalang, sekalipun pamornya sudah kalah jauh dengan berbagai moda lain seperti angkutan umum JakLingko, hingga taksi daring.

Ketidak jelasan rute operasi, menjadikan angkutan ini bisa bergerak bebas tak terikat pada trayek. Meski begitu, adanya aturan yang melarang angkutan ini melintas ke ruas-ruas jalan tertentu, menjadikan mobilitasnya tak bisa seenaknya.

Sayangnya, sebagian besar pengemudi justru kerap melakukan kucing-kucingan dengan petugas, terutama saat memaksa masuk melintasi jalan-jalan yang memang tak diperbolehkan. Alasannya, mereka tak bisa menolak kemauan penumpang.

Sikap indisipliner tadi diperparah juga dengan perilaku berkendara pengemudi yang tak aman, melanggar lalu lintas, sampai ngetem di lokasi-lokasi ramai seenaknya.

Di kawasan Stasiun Manggarai misalnya, keberadaan angkutan roda tiga yang ngetem ini sangat mengganggu pengguna jalan lain di sekitar lokasi. Ruas jalan yang semestinya bisa dilalui dua jejer kendaraan, terpaksa hanya bisa dilalui separuhnya saja.

Hal ini belum ditambah masalah lain di sekitar lokasi seperti keberadaan preman, sampah, hingga asap rokok. Di beberapa titik bahkan tercium bau pesing dari pengemudi yang buang air kecil sembarangan.

Pemprov DKI sebetulnya sudah sempat mewacanakan pelarangan angkutan penumpang roda tiga di masa Gubernur Soetiyoso. Namun entah apa lacur, angkutan ini justru tetap dipertahankan, hanya ditambah embel-embel konversi bahan bakarnya saja dari bensin ke gas.

Implementasi penggunaan bahan bakar gas itu sendiri bukan tanpa persoalan. Masih sedikitnya jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas, menimbulkan antrean panjang setiap harinya di hampir seluruh SPBG di Jakarta.
Di SPBG kawasan Rawamangun Jakarta Timur misalnya, antrean panjang angkutan roda tiga tak terelakkan mengular hingga ke jalan raya. Itu pun belum ditambah mereka harus berbagi ruang dengan antrean Bus TransJakarta hingga Taksi yang juga hendak mengisi gas.

Angkutan umum penumpang roda tiga di Jakarta | Sumber: Kompas.com
Angkutan umum penumpang roda tiga di Jakarta | Sumber: Kompas.com

Dari pengakuan salah satu pengemudi angkutan roda tiga yang saya ajak berbincang, sedikitnya para pengemudi menghabiskan tak kurang dari satu hingga satu setengah jam, hanya untuk mengantre di SPBG.

Kehilangan waktu sebanyak itu membuat para pengemudi memutar otak untuk menambal pemasukan. Terlebih banyak dari pengemudi bukanlah pemilik kendaraan. Selain untuk mencari pemasukan pribadi, mereka masih harus menyetor setidaknya 120 hingga 150 ribu rupiah per hari kepada si pemilik.

Maka tak heran, perilaku berkendara ugal-ugalan pengemudi angkutan ini menjadi pemandangan yang lazim sekali kita temui.

Di negara-negara Eropa, angkutan roda tiga memang masih digunakan sampai hari ini. Akan tetapi peruntukannya tidak menyasar pada mengangkut orang, melainkan sebatas sarana memobilisasi barang, hasil perkebunan, serta pertanian.

Terkecuali karena pertimbangan hobi, masyarakat di sana jarang sekali menggunakan kendaraan ini sebagai sarana transportasi utama mereka sehari-hari.

Hari ini wajah Jakarta sudah naik beberapa level, meninggalkan kota-kota negara dunia ketiga. Jakarta sudah bukan lagi lelucon, ia telah menjelma sebagai sokoguru kota berbasis jejaring transportasi massal terbaik di dunia.

Sudah semestinya angkutan umum yang tak kompatibel pada jejaring sistem yang sudah baik ini, dicarikan alternatif solusi agar seolah tak berdiri sendiri-sendiri.

Melebur angkutan penumpang roda tiga ke dalam naungan jejaring transportasi massal di Jakarta, rasanya juga tak rasional. Aspek keamanan dan kenyamanan penumpang yang ditawarkan angkutan ini, jelas sangat tidak memenuhi standar minimal pelayanan operator transportasi massal di Jakarta.

Mengalih fungsikannya menjadi armada angkutan barang, serta melokalisasinya pada area-area komersial terbatas seperti pasar, mall, atau pada kawasan-kawasan industri, rasanya akan menjadi solusi terbaik bagi ekosistem angkutan jenis ini di masa depan.

Armadanya tetap masih bisa beroperasi, pengemudinya masih bisa mencari nafkah. Masyarakat pun tetap bisa mendapatkan manfaat dari keberadaan mereka.

Kita tentu tak ingin angkutan jenis ini bernasib seperti pendahulunya, becak dan helicak. Pelan-pelan dipinggirkan oleh aturan tanpa solusi memadai, kemudian dipaksa "dibesi-tuakan" atas nama kemajuan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun