Pemprov DKI sebetulnya sudah sempat mewacanakan pelarangan angkutan penumpang roda tiga di masa Gubernur Soetiyoso. Namun entah apa lacur, angkutan ini justru tetap dipertahankan, hanya ditambah embel-embel konversi bahan bakarnya saja dari bensin ke gas.
Implementasi penggunaan bahan bakar gas itu sendiri bukan tanpa persoalan. Masih sedikitnya jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas, menimbulkan antrean panjang setiap harinya di hampir seluruh SPBG di Jakarta.
Di SPBG kawasan Rawamangun Jakarta Timur misalnya, antrean panjang angkutan roda tiga tak terelakkan mengular hingga ke jalan raya. Itu pun belum ditambah mereka harus berbagi ruang dengan antrean Bus TransJakarta hingga Taksi yang juga hendak mengisi gas.
Dari pengakuan salah satu pengemudi angkutan roda tiga yang saya ajak berbincang, sedikitnya para pengemudi menghabiskan tak kurang dari satu hingga satu setengah jam, hanya untuk mengantre di SPBG.
Kehilangan waktu sebanyak itu membuat para pengemudi memutar otak untuk menambal pemasukan. Terlebih banyak dari pengemudi bukanlah pemilik kendaraan. Selain untuk mencari pemasukan pribadi, mereka masih harus menyetor setidaknya 120 hingga 150 ribu rupiah per hari kepada si pemilik.
Maka tak heran, perilaku berkendara ugal-ugalan pengemudi angkutan ini menjadi pemandangan yang lazim sekali kita temui.
Di negara-negara Eropa, angkutan roda tiga memang masih digunakan sampai hari ini. Akan tetapi peruntukannya tidak menyasar pada mengangkut orang, melainkan sebatas sarana memobilisasi barang, hasil perkebunan, serta pertanian.
Terkecuali karena pertimbangan hobi, masyarakat di sana jarang sekali menggunakan kendaraan ini sebagai sarana transportasi utama mereka sehari-hari.
Hari ini wajah Jakarta sudah naik beberapa level, meninggalkan kota-kota negara dunia ketiga. Jakarta sudah bukan lagi lelucon, ia telah menjelma sebagai sokoguru kota berbasis jejaring transportasi massal terbaik di dunia.
Sudah semestinya angkutan umum yang tak kompatibel pada jejaring sistem yang sudah baik ini, dicarikan alternatif solusi agar seolah tak berdiri sendiri-sendiri.
Melebur angkutan penumpang roda tiga ke dalam naungan jejaring transportasi massal di Jakarta, rasanya juga tak rasional. Aspek keamanan dan kenyamanan penumpang yang ditawarkan angkutan ini, jelas sangat tidak memenuhi standar minimal pelayanan operator transportasi massal di Jakarta.