Tersedianya ragam layanan belanja daring, sedikit-banyak telah mengubah perilaku kita untuk meninggalkan cara belanja konvensional.Â
Duduk nyaman di rumah, jelas lebih menyenangkan ketimbang harus bepergian ke toko-toko konvensional. Ongkos transportasi umum, ongkos BBM dan parkir menjadi komponen biaya yang bisa dihindari jika kita memilih berbelanja daring.
Jika kita hanya melihatnya sebatas ini, kita tentu setuju bahwa belanja daring memiliki dampak yang lebih menguntungkan secara ekonomi. Tetapi bagaimana dampak lainnya terhadap lingkungan?
Pada 2013, situs belanja daring Amazon merilis capaian 608 juta pengiriman ke seluruh penjuru Amerika Serikat. Jumlahnya meningkat hingga 10 kali lipat, hanya dalam kurun waktu 2 tahun saja.
Peningkatan jumlah pengiriman yang sangat signifikan tadi menjadi sorotan dari banyak aktivis lingkungan hidup yang mempersoalkan bagaimana Amazon begitu boros memproduksi karbon dalam proses pengemasannya.
Limbah plastik menjadi salah satu kemubaziran yang tak mampu tertangani oleh Amazon ketika itu. Bagaimana pun, plastik menjadi material pengemasan yang paling unggul dalam proses logistik.
Perlu kita tahu, bahwa setiap perusahaan pengiriman memiliki standar keamanan pengemasan yang ketat. Ada uji jatuh, jatuh memutar, jatuh keras, ketahanan cuaca, dan lain sebagainya. Syarat-syarat ini hanya bisa dipenuhi oleh material plastik sebagai medium kemasan.
Karenanya pada Februari 2019 lalu, Amazon mengumumkan program "Shipment Zero" sebagai komitmen mereka dalam pengemasan dan pengiriman yang lebih ramah lingkungan.
Raksasa ritel daring itu berambisi untuk mengurangi setengah dari total pengirimannya, tidak menghasilkan karbon tambahan di 2030.
Amazon akan mengadopsi lebih banyak kendaraan bertenaga listrik, yang sumber energinya ditenagai oleh tenaga surya. Serta mendorong pemasok dan penggunanya memanfaatkan kembali kemasan bekas mereka, lewat transit hub daur ulang yang disebar di berbagai titik di seluruh Amerika Serikat.
Bagaimana dengan Indonesia?
Ada sekitar 4 raksasa ritel daring yang sekarang berkompetisi di negeri ini. Namun jika kita perhatikan, kampanye dari keempat raksasa tadi baru sebatas gimmick menebarkan promo diskon dan bebas ongkos pengiriman.
Saya belum menemukan adanya kampanye-kampanye yang sifatnya berangkat dari kesadaran menjaga lingkungan. Padahal jika ini menjadi komitmen para ritel tadi, baik pemasok barang maupun para konsumen akan lebih bertanggung jawab dalam aktivitas jual beli mereka.
Saya mengalami sendiri saat beberapa minggu lalu membeli telepon seluler via daring. Kemasan yang datang berlapis-lapis dari mulai kardus, lilitan bubble wrap, plastik luar, hingga terakhir lilitan lakban. Terlalu mubazir.
Padahal jika kita mengacu pada cara Amazon mengemas kirimannya, mereka menerapkan prinsip "bebas frustrasi". Artinya, setiap pengemasan dirancang untuk "bebas kemarahan" dari yang membukanya, namun tetap aman secara risiko kirim.
Alih-alih menggunakan lilitan bubble wrap seperti di Indonesia, Amazon lebih mengemas paketnya secara sederhana dengan kardus yang bisa dipakai ulang ataupun ditukarkan kembali ke transit hub milik Amazon.
Makin sedikit plastik, maka makin sedikit limbah dan emisi yang dihasilkan. Namun jika ini diadopsi di Indonesia, di mana mayoritas pengantaran paket dilakukan kurir melalui sepeda motor. Rasanya faktor keamanan jadi berkurang.
Dilansir dari pemberitaan cnnindonesia.com. Dalam sehari, satu kurir biasanya dibebankan minimal 80-an tujuan alamat kirim. Lelah sedikit saja, bisa membuat kurir lengah. Paket bisa saja terjatuh, rusak, atau bahkan hilang tanpa sengaja.
Kondisi ini jauh berbeda dengan di Amerika Serikat, di mana pengiriman paket dilakukan dengan mobil van, ataupun dengan kendaraan berjenis quadricycle. Hal ini membuat pengiriman menjadi jauh lebih aman sekalipun dengan kemasan minimalis.
Sebetulnya ada solusi sederhana, yang membuat kita bisa tetap berbelanja daring ria tanpa merasa bersalah pada lingkungan. Yakni dengan memanfaatkan fitur asuransi pengiriman pada tiap-tiap layanan belanja daring favorit.
Pemasok bisa mengemas paket secara tidak lebay, tak perlu berlapis-lapis, berlilit-lilit. Sementara konsumen tetap merasa aman, sebab paketnya terlindung oleh asuransi. Sama-sama tenang.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita mau merelakan ongkos tambahan sebagai biaya asuransi, guna menggantikan kemasan paket yang berlapis-lapis?
Kemudian pertanyaan selanjutnya kepada para penyedia layanan belanja daring dan rekanan pengirimannya, apakah konsumen mendapat jaminan kemudahan dalam mengurus klaim terhadap kemungkinan risiko yang terjadi pada barang yang dibelinya?
Jika dua pertanyaan sederhana tadi masih sulit dijawab, maka lupakan soal limbah, soal emisi, apalagi soal nasib lingkungan hidup. Kejauhan. Toh, kita jauh lebih butuh diskon, gratis ongkir dan iming-iming cashback kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H