Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Bisakah Teknologi Membuat Ketahanan Pangan dan Ketahanan Planet Bergandengan?

11 Februari 2022   09:43 Diperbarui: 16 Februari 2022   09:55 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang politisi menanam padi dengan metode menentang ilmu pengetahuan | Sumber: Kompas.com

Ada total sekitar 10 miliar manusia yang mendiami planet ini di tahun 2050, setidaknya begitu menurut proyeksi PBB yang dirilis 2017 lalu. Di Indonesia sendiri, kabarnya akan ada sekitar 300-400 juta orang yang diproyeksikan tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Dengan ledakan populasi yang sebesar itu, tantangan kita akan melebar tidak hanya berkutat pada ketahanan energi, melainkan juga pada ketahanan pangan.

Untuk memberi makan populasi global, maka kita perlu meningkatkan produksi pangan sebanyak 68 persen dari yang ada saat ini. Namun tantangan terbesarnya nanti, bukan semata soal lahan. Melainkan soal perubahan paradigma kelas sosial, serta resiko emisi gas rumah kaca yang mengancam keberlangsungan bumi.

Saat ini saja, rantai industri pangan secara keseluruhan telah menyumbang sedikitnya 26 persen dari total emisi gas rumah kaca secara global. Atau jika dijabarkan, sektor-sektor pertanian, peternakan dan perkebunan, telah memakan porsi sekitar 18,4 persen. Sedangkan sisanya mencakup pada sektor-sektor turunan semisal pengemasan, pendinginan, dan transportasi.

Sementara dari aspek sosial, perubahan paradigma kelas yang didorong oleh kemajuan teknologi, nyatanya justru telah membuat sektor-sektor pangan ditinggalkan oleh anak-anak muda. Siapa sih yang mau hidup sebagai petani atau peternak? Kasarnya begitu.

Dengan fakta yang sebagian besar di antaranya bisa kita lihat hari ini, rasanya kita akan dihadapkan pada persoalan yang belum pernah dialami oleh spesies ini sepanjang sejarah.

Manusia seperti tengah dihadapkan pada buah simalakama. Apakah manusia akan tiba pada kepunahan oleh sebab ketidakmampuannya memenuhi pangan? Ataukah manusia justru berhasil mengatasinya, namun tak bisa mengelak dari kepunahan akibat dampak ekologis yang ditimbulkannya?

Tentu tak mudah mencapai ketahanan pangan dengan tetap menjaga ketahanan bumi. Sejak dua dekade lalu, para ilmuwan mulai melakukan penelitian terkait metode penyediaan pangan, tanpa merusak lingkungan.

Satu inisiatif menarik bisa kita tangkap dari perusahaan asal Israel, Pytech. Kolaborasinya dengan perusahaan agrikimia asal Swiss, Sygenta. Telah berhasil mengembangkan sistem sensor pemantauan pertumbuhan tanaman berbasis kecerdasan buatan.

Melalui inovasi ini, petani bisa memantau pertumbuhan tanaman secara lebih spesifik. Kapan harus diberi air, pupuk, bahkan mengenali penyakit yang menghambat pertumbuhan tanaman. Sehingga petani mampu menanam lebih banyak benih pada luas lahan yang sama, dengan masa tuai yang relatif lebih cepat, serta meminimalisir resiko gagal panen.

Kampanye mengenai metode pertanian baru juga perlu didorong. Pertanian vertikal misalnya, metode ini bisa dengan sangat signifikan mengurangi kebutuhan lahan serta pemakaian air bersih. Sehingga jika metode ini diskalakan secara lebih masif, hitung-hitungannya bisa mencapai 390 kali lebih produktif per meter persegi luas lahan pertanian konvensional yang sama.

Sektor peternakan juga tak kalah menantang. Selama ini hampir sepertiga luas lahan pertanian yang ada saat ini, peruntukannya adalah untuk pangan hewan-hewan ternak.

Semakin kita hendak menggenjot produksi ternak, baik itu berupa daging maupun susu. Artinya kita membutuhkan lebih banyak lahan untuk memberi makan hewan-hewan yang kita ambil manfaatnya.

Membuka lahan baru, berarti menambah lagi kebutuhan pasokan air dan energi. Yang bersamaan dengannya juga, akan menghasilkan emisi baru yang lebih besar.

Jika kita tetap bertahan dengan apa yang kita lakukan hari ini, kepunahan manusia bisa datang lebih cepat karena bumi keburu kolaps.

Ada dua solusi yang bisa menggantikan kebutuhan manusia terhadap produk ternak, pertama ialah memaksa semua orang berubah menjadi vegan. Tetapi opsi ini jelas tak disukai semua orang. Karenanya ilmuwan bekerja keras untuk menghadirkan opsi yang kedua, yakni memproduksi "daging buatan".

Kita jangan membayangkan daging buatan seperti daging yang dibuat dari tepung-tepungan dan sejenisnya. Bukan seperti itu. Daging buatan yang saya maksudkan di sini adalah daging yang proses produksinya dihasilkan dari laboratorium.

Terdengar sophisticated memang, tapi begitulah masa depan pangan tengah dibangun sejak hari ini. Para ilmuwan telah berhasil memproduksi daging yang dihasilkan dari proses pengayaan sel hewan.

Tentu teknis pembuatannya tak bisa saya jelaskan di sini. Beberapa tahapan proses di dalamnya, seperti memasukkan asam amino ke dalam sel, mengubahnya menjadi jaringan otot, hingga memodifikasi struktur nutrisinya, bahkan masih gelap dan mengawang-awang dicerna oleh saya.

Maka sebelum melompat jauh ke sana, terlebih dahulu kita bisa melihat apa yang sudah tersedia hari ini. Daging buatan yang berbasis pada bahan-bahan nabati, saat ini mulai dilirik sebagai alternatif daging sungguhan. Anak-anak Jaksel menyebutnya dengan istilah "plant-based meat".

Konon, daging ini memiliki rupa dan rasa yang mirip dengan daging sebenarnya. Hanya saja secara nutrisi, daging ini mengandung takaran gizi dari bahan dasar pembuatnya, yakni tumbuhan. Kabar baiknya, restoran cepat saji Burger King bahkan telah secara rutin memasok daging jenis ini sebagai bahan baku di beberapa menu mereka. Beberapa restoran skala global lain, kabarnya juga akan menyusul.

Tahun 2029 diproyeksikan porsi sekitar 10 persen dari suplai daging secara global, akan dipenuhi oleh daging jenis nabati ini. Selain menawarkan daging yang lebih sehat, daging jenis ini juga memangkas kebutuhan energi dan emisi gas kaca yang dihasilkan industri peternakan.

Perusahaan asal Amerika Serikat, Beyond Meat, menjadi pionir dalam pengembangan plant-based meat di seluruh dunia. Perusahaan ini bahkan telah sukses mencatatkan IPO perdananya dengan nilai yang sangat fantastis sebesar 1.5 miliar dolar.

Produk plant-based meat dari Beyond Meat | Sumber: CNN.com
Produk plant-based meat dari Beyond Meat | Sumber: CNN.com

Hanya butuh 3 bulan lamanya bagi Beyond Meat, untuk mencatatkan valuasi perusahaannya menjadi $ 13 miliar dolar. Sebuah bukti bahwa industri jenis ini memiliki prospek yang sangat cerah di masa depan.

Pesatnya teknologi di bidang industri pangan ini harus pula diikuti oleh kecepatan regulasi yang tepat sasaran. Tahun 2020 lalu Singapura menjadi negara pertama yang menyetujui dipasarkannya daging buatan (baik yang berupa plant-based, maupun yang dihasilkan oleh laboratorium), sekaligus membuat regulasi yang melindungi masyarakatnya dari kemungkinan dampaknya bagi kesehatan.

Indonesia sebagai negara agraris, semestinya bisa segera mengambil peran dalam proyek ketahanan pangan masa depan berbasis teknologi ramah lingkungan.

Lahan dan sumber daya alamnya melimpah, ditopang pula dengan iklim dan cuaca yang bersahabat. Tinggal bagaimana kesadaran ini bisa sampai kepada para elit dan politisi yang menentukan arah kebijakan pangan kita di masa depan.

Negeri ini memerlukan lebih banyak orang yang bergetar hatinya dalam membaca gejala alam, namun tetap setia pada jalur-jalur yang disarikan ilmu pengetahuan. Kita tak bisa berdiam dan hanya berserah pada seleksi alam.

Terkecuali kepunahan adalah bagian dari yang hendak kita cita-citakan.

Seorang politisi menanam padi dengan metode menentang ilmu pengetahuan | Sumber: Kompas.com
Seorang politisi menanam padi dengan metode menentang ilmu pengetahuan | Sumber: Kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun