Dari satu kuali besar berisi rendang, kita seringkali sulit membedakan, yang mana daging, yang mana lengkuas. Rupa dan bentuknya tampak sama saat keduanya sudah dibumbui.
Kita baru bisa mengenali keduanya saat salah satunya masuk ke dalam mulut. Jika sedang apes, kita akan menggigit lengkuas yang kita kira daging. Tidak mengkhawatirkan memang, tetapi tetap saja menjengkelkan.
Analogi rendang dan lengkuas sengaja saya pilih, bukan saja karena saat ini saya sedang lapar, melainkan juga karena saya tak menemukan lagi penjelasan logis, mengapa banyak sekali lengkuas di kuali bernama Juventus?
Saat siapapun kita, Juventini ataupun bukan, mendengar nama Juventus. Semestinya otak kita akan langsung mengasosiasikannya dengan definisi sebuah klub hebat, modern, berisi sekumpulan pemain berbakat, digdaya, serta keji saat menghadapi lawan-lawannya.
Sayangnya, puji-pujian setinggi itu, saat ini lebih tepat menjadi frasa satire yang menjelaskan sebaliknya.
Ada banyak faktor yang membuat Juventus menjadi seperti sekarang. Namun yang menurut saya paling krusial tentu, keberadaan Cristiano Ronaldo.
Kedatangan Ronaldo tiga musim silam, seolah menciptakan ketidakseimbangan baru pada hukum-hukum fisika, yang telah berlaku sejak lama pada alam semesta Juventus.
Ronaldo seolah menjadi pusat kosmik baru, di mana semestinya ia tunduk pada hukum kosmik yang lebih besar lagi, hukum kosmik Juventus. Di mana kolektivitas permainan, seharusnya berdiri di atas kualitas individu serta nama besar.
Ronaldo dengan segala pesona sepakbola serta sisi pribadinya yang memikat, tentu saja membuatnya memiliki daya tarik begitu kuat, yang memaksa siapapun berada di sekelilingnya sulit menolak.
Pusat kosmik baru pada diri Ronaldo, yang berdiri di tengah-tengah makro kosmik Juventus, awalnya memang banyak dibantah oleh para pendukung Juventus.
Kata mereka, tak ada pemain yang lebih besar ketimbang Juventus itu sendiri. Saya setuju. Tetapi pemain yang kita bicarakan sekarang adalah Ronaldo. Ia adalah pengecualian.
Ronaldo menciptakan sebuah zona nyaman baru, di mana rekan-rekan setimnya mulai mempercayai, bahwa muara kreatifitas permainan, bagaimanapun caranya, haruslah berujung pada kaki, maupun kepala Ronaldo.
Algoritma dan statistik menjelaskan, betapa Ronaldo memang pencetak gol yang ulung, ia terlatih menceploskan bola ke gawang lawan sesulit apapun caranya. Tak sengaja menendang saja jadi gol, apalagi direncanakan?
Maka daripada membuang banyak energi, bereksperimen melakukan serangan tanpa melibatkan Ronaldo yang belum tentu berhasil, lebih baik menyerahkan segala sesuatunya pada Ronaldo saja, bukan?
Tetapi sepertinya banyak orang di Juventus lupa, membiarkan Ronaldo besar seorang diri, cepat atau lambat akan membuat Juventus gagap, utamanya saat Ronaldo tak bermain dalam kondisi terbaik.
Saat Ronaldo berhasil dikunci lawan, Juventus seperti tak tahu harus bagaimana caranya mencetak gol. Jangankan menembak, arah gawang lawan pun seolah tak terlihat. Semua menjadi gelap, juga buntu. Pertandingan melawan Benevento kemarin contohnya.
Pirlo sebagai pemimpin orkestrasi kosmik Juventus, semestinya mulai berpikir lebih keras, bahwa alam semesta Juventus tak akan berumur panjang, jika mereka justru tunduk pada hukum-hukum kosmik Ronaldo.
Pirlo harus menemukan persamaan baru, yang tak hanya mampu mengalahkan hukum-hukum kosmik Ronaldo, melainkan juga harus bersifat radikal dalam membuat benda-benda kosmik lain, tunduk pada satu hukum kosmik tunggal, hukum kosmik Juventus. Sehingga para pemain lain terbebaskan, betapapun kuatnya daya tarik Ronaldo.
Bukan Juventus yang seharusnya beradaptasi dengan Ronaldo. Ronaldo lah yang mesti menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan Juventus. Apalagi ini sudah musim ketiga Ronaldo di Juventus. Kontraknya hanya tinggal setahun lagi.
Juventus, atau dalam hal ini Pirlo, harus bisa menjadi pusat kosmik, di mana ia berperan mengendalikan benda-benda kosmik yang beredar dalam cakupan gravitasinya. Sehingga dalam suatu kesewenang-wenangan waktu, akan muncul kosmik-kosmik baru berwujud kreatifitas, yang tak bergantung pada Ronaldo seorang.
Juventus harus memperlakukan Ronaldo sebagai elemen kosmik, di tengah-tengah orkestrasi makro yang anggun dan penuh keserasian. Sehingga baik Paulo Dybala sampai Federico Bernardeschi sekalipun menyadari, bahwa bukan Ronaldo yang menjadi pusat semesta.
Bukan hanya Ronaldo yang menjadi daging dalam kuali rendang Juventus, sementara yang lainnya hanyalah potongan-potongan lengkuas.
Ronaldo tak ubahnya pemain lain yang sudah semestinya patuh dan tunduk pada hukum kosmik tunggal. Hukum kosmik Juventus.
Kesadaran inilah yang mesti segera ditanamkan Pirlo pada seluruh anak asuhnya, kesadaran bahwa setiap elemen dalam tubuh Juventus, memiliki perannya sendiri-sendiri, yakni menopang keseimbangan alam semesta Juve, dalam "ketidak-teraturan yang teratur" oleh hukum fisika Juve.
Belum terlambat bagi Pirlo, untuk mengubah kuali rendang Juventus yang saat ini tampak seperti berisi lebih banyak lengkuas, ketimbang dagingnya.
Pirlo dengan segenap kecerdasan sepakbolanya, harus segera menemukan caranya sendiri, untuk bisa mengembalikan lagi Juventus, tak hanya sebagai pusat kosmik bagi setiap elemen di dalamnya.
Melainkan juga membuat kuali rendang Juventus, menjadi sekaya narasi-narasi imajinatif Bossman Mardigu, yang isinya daging semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H