'Hah? Ga mungkin, Mas. Kereta itu tadi ramai, kami bahkan ngobrol banyak dengan suami-isteri yang baru jenguk anaknya dari Jakarta!'
Si Kakek kemudian menepuk pundak saya, dan berkata, 'Tadi Bapak heran lihat kalian berdua, berdiri di kereta. Padahal semua kursi kosong.'
'Bapak tadi mau menawarkan duduk, tapi kalian heboh sendiri, seperti sedang ngobrol dengan orang lain, padahal ga ada siapa-siapa lagi di kereta tadi, cuma kita bertiga.' lanjut si Kakek.
Saya dan Olip shock. Kami berdua mencoba untuk berpikir jernih, dengkul saya lemas, gemetaran. Olip bahkan sudah nyaris menangis. Tapi kemudian kami bisa sedikit lebih tenang setelah meneguk Teh Botol dingin yang dibelikan oleh si Kakek.
Olip lalu meminta izin ke toilet, dia merasa pusing dan mual. Ia ditemani oleh petugas security, sedangkan saya duduk menunggunya di ujung peron bersama si kakek dan petugas security lainnya.
Saya pun mulai menceritakan apa yang saya dan Olip alami di perjalanan tadi. Si Kakek, sang petugas dan beberapa rekannya yang lain, saling menunjukkan ekspresi tak percaya. Bulu kuduk saya masih merinding saat menceritakannya.
Namun si Kakek berusaha menenangkan, bahwa apa yang saya dan Olip alami tadi, mungkin hanya perjumpaan biasa, seperti halnya sehari-hari kita bertemu dengan penumpang lain, yang sama-sama hendak pulang seperti kita, menumpang di kereta yang sama, turun di perhentian yang mungkin sama, namun berbeda dimensi ruang dan waktunya.
Barangkali ada kuasa yang entah bagaimana caranya, memungkinkan saya dan Olip, untuk bisa berada di dua dimensi yang berbeda tadi secara bersamaan. Itulah mengapa saat itu, saya dan Olip bisa melihat ada banyak penumpang di kereta itu, sementara si kakek, tidak.
Itulah juga mengapa, seluruh penumpang di kereta tadi, tidak bisa melihat keberadaan si kakek, dan menganggap kursi prioritas itu tak ada yang menduduki. Padahal si kakek sedari tadi berada di sana. Karena dimensi keduanya berbeda. Sementara saya dan Olip, berada di tengah-tengah realitas dua dimensi yang berbeda itu. Menyaksikan keduanya secara bersamaan. Sesuatu yang sampai hari ini, masih tak bisa saya pahami.
Tak lama Olip kembali dari toilet, kami berdua pun berpamitan pulang. Saya dan Olip berjalan kaki menuju kos-kosan saya yang tak jauh dari stasiun. Olip tak banyak bicara, mukanya masih pucat, tangannya dingin, bahkan saat saya  coba bercandai, ia enggan tertawa.
Tak sampai 3 menit berjalan kaki, kami pun sudah tiba di depan kos-kosan. Saat hendak membuka pagar, handphone saya berbunyi, saya pun mengangkatnya tanpa melihat layar, namun belum sempat saya menjawab halo, saya keburu dikejutkan dengan suara bernada tinggi,