Malam itu, Lenteng Agung gerimis tipis. Jalanan lengang, toko-toko di sepanjang deretan Universitas Pancasila sudah banyak yang tutup. Saya lupa persisnya jam berapa, mungkin tengah malam. Yang saya tahu, angkutan kota menuju Depok sudah tidak ada.
Saya memang agak bimbang saat itu, ingin tetap menginap di rumah kawan saya, Depta. Tapi kawan saya yang lain, Oliver, justru sudah ada janji dengan pacarnya besok pagi. Karenanya, saya dan Olip, panggilan akrab untuk Oliver, terpaksa pulang malam itu juga.
Kami berdua berencana naik kereta dari stasiun Universitas Pancasila menuju Pondok Cina. Dulu, di tahun 2008, belum ada yang namanya ojek online. Ojek pangkalan pun jarang jika sudah lewat tengah malam. Angkutan biasanya cuma sampai jam 11. Kalau pun ada, paling-paling cuma mobil omprengan, itu pun kita harus berbagi tempat dengan penjual sayur.
Suasana stasiun sangat sepi saat itu, hanya ada beberapa petugas di sana. Dua penjaga tiket, empat petugas keamanan. Sementara yang menunggu kereta di peron, cuma saya dan Olip. Kami penumpang terakhir di stasiun itu sepertinya. Untuk mengusir sepi, saya dan Olip ngobrol ngalor-ngidul tentang pertandingan Juventus melawan Inter Milan, yang kami tonton di rumah Depta barusan.
Tak lama, kereta datang. Kondisinya tak penuh, mungkin karena sudah larut malam. Namun seluruh kursi sudah tak ada yang kosong. Hanya ada satu deret kursi prioritas yang masih bisa diduduki tiga orang lagi. Tetapi saya dan Olip memilih berdiri saja, sebab kursi itu diduduki seorang kakek tua yang berpenampilan cukup aneh. Tubuhnya kurus, berjanggut panjang, dan berpakaian serba putih.
Saya dan Olip beberapa kali memperhatikan ke arah kakek itu, sesekali saling berbisik dan bergurau, 'Lip, itu kakek-kakeknya beneran orang atau bukan ya?'
'Ga tau, gue. Kayaknya sih orang deh. Kakinya napak kok.'
'Tapi lo liat deh, Lip. Kok daritadi kayaknya dia merhatiin kita terus ya?'
'Hah, masa sih? Jangan nakut-nakutin lo!'
Terus terang saya merasa sangat aneh dengan si kakek yang duduk di kursi prioritas itu, wajahnya tak menakutkan, namun entah mengapa saya merasa tatapannya begitu dingin.
Saya risih diperhatikan begitu. Saya jadi merinding tiap menoleh ke arahnya. Saya memang penakut, dan parahnya, Olip lebih penakut lagi. Pada akhirnya kami berdua berusaha mengusir ketakutan kami dengan membicarakan Sophie dan Diana, pacar-pacar kami.