Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sarri dan Sepak Bola "Ngeselin" ala Juventus

2 Desember 2019   10:23 Diperbarui: 3 Desember 2019   21:45 2725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih Juventus, Maurizio Sarri, sumber : kompas.com

Banyak hal di dunia ini yang terlihat cantik dan indah. Lampu warna-warni di underpass Mampang itu cantik, pedestrian di Pajajaran Bogor itu indah, dan tentu saja kamu, cantik dan indah.

Ketiga hal tadi ialah beberapa contoh di antara hal-hal cantik dan indah. Sementara permainan sepakbola Juventus? Jelas bukan keduanya. Mengapa?

Tidak ada klub yang semubazir Juve saat ini. Mereka mendatangkan Ronaldo mahal-mahal, cuma untuk menjadi eksekutor penalti. Mereka rela menggaji selangit Aaron Ramsey, hanya untuk menjadi ban serep Sami Khedira.

Dan coba tebak, apa yang paling sia-sia? Mereka mempertahankan Paulo Dybala, cuma untuk menjadi pemandu sorak bagi Bernardeschi dari bangku cadangan.

Ronaldo, Ramsey dan Dybala, ketiganya sudah amat memenuhi prasyarat untuk dijadikan trisula mematikan di lini depan. Tetapi sang juru taktik Juventus, Maurizio Sarri, lebih senang memainkan ketiganya bersamaan, hanya pada kondisi-kondisi tertentu saja. Saat latihan, misalnya.

Sarri tampak lebih percaya pada bisikan nikotin di setiap rokok yang dihisapnya, yang seolah-olah berkata, Bernardeschi akan mencetak tiga gol spektakuler, jika dipasangkan bersama dengan Khedira dan Matuidi malam ini. Selalu begitu.

Memang, tidak ada yang salah dengan keputusan Sarri. Ia punya hak untuk memilih pemain mana, yang menurutnya paling siap menerjemahkan siasatnya di atas lapangan.

Tapi mengesampingkan Dybala yang tengah on fire, dan lebih memilih Bernardeschi menjadi core serangan, tentu ini merupakan pertanda, Akal sehat Sarri sudah terpapar Nikotin dalam dosis yang terlalu banyak.

Lucunya adalah, baru beberapa hari lalu, Sarri sempat berujar, bahwa ia masih belum bisa memainkan skema "Sarri Ball" sesuai yang ia inginkan, karena komposisi pemain yang ada, menurutnya masih sulit beralih dari skema pelatih sebelumnya. Helaaaaw?

Bukankah Sarri sendiri yang memilih Khedira, Matuidi & Bernardeschi; tiga serangkai andalan Max Allegri, pelatih Juve sebelumnya, yang dikenal dengan skema "tiki-taka" di zona pertahanan sendiri? Lalu lihat sendiri hasilnya sekarang, melawan tim sekelas Sassuolo saja, Juve "engap-engapan".

Tetapi mungkin, memang seperti inilah Identitas Juventus sejak dulu. Tak mengenal sepak bola cantik, apalagi indah. Bahkan ketika Juventus menjadi penguasa Eropa sekalipun, mereka memainkan sepak bola pragmatis, membosankan dan tentu, ngeselin. Saat tim lain sibuk mengadaptasi skema "total football", mereka malah asyik senam "poco-poco" di wilayah sendiri.

Mungkin bagi Juve, sepak bola tak memerlukan apa itu bermain cantik, apa itu bermain indah. Yang terpenting bagi Juve adalah menang, bawa pulang poin, piala, lalu dimulai lagi dari nol. Begitu terus sampai Atta Halilintar lepas bandana.

Maka ketika banyak pelatih hebat datang silih berganti menukangi Juventus, dari mulai Lippi, Capello, hingga sekarang, Maurizio Sarri. Tak ada satupun dari mereka, yang mampu mengubah identitas Juventus sebagai pemilik sepak bola mengesalkan.

Benar, sepak bola Juve memang sepak bola yang "ngeselin", padahal Juve tak pernah kekurangan stok pemain hebat, dari mulai Zidane, Nedved, Pirlo, hingga saat ini, Miralem Pjanic. Semuanya merupakan jenderal lini tengah terbaik yang pernah dimiliki sepak bola.

Namun saat mereka berseragam Juve, jangan langsung membayangkan keberadaan mereka bisa membawa sepak bola yang menghibur. Hilangkan jauh-jauh pikiran positif pada Juventus. Sebab tak ada satupun dari mereka yang bisa keluar dari kesakralan identitas sepak bola Juve. Sepak bola ngeselin.

Pandangan saya mungkin sangat bertolak-belakang dengan pendapat seorang pundit sepak bola kenamaan, Justin Laksana, atau akrab disapa Coach Justin.

Di salah satu cuitannya, ia bahkan tak ragu mengatakan, Juventus adalah satu-satunya tim di Italia, yang mampu menampilkan sepak bola indah, di saat tim-tim lainnya menampilkan sepak bola yang "tak punya harga diri".

Entah indah dalam artian yang bagaimana. Indah Permata Sari atau mungkin Indah Dewi Pertiwi, saya tak tahu. Terlalu abstrak. Kadang, logika saya lebih mudah mencerna hasil-hasil survey Cak Lontong, ketimbang memahami analisis-analisis Coach yang satu ini.

Tetapi tentu, argumen saya ini bisa saja keliru. Juventus bisa saja memang belum 100% tampil optimal. Mengingat Sarri pun baru menukangi klub ini kurang dari enam bulan lamanya.

Masih banyak waktu yang dimiliki Sarri, untuk bisa menemukan formulasi yang tepat, supaya skema "Sarri Ball" andalannya, bisa berjalan di klub ini.

Mungkin benar yang dikatakan Sarri, bahwa belum semua pemain Juventus sudah "move on" dengan skema pelatih sebelumnya. Maka ada baiknya, Sarri pun juga tak lagi membuang-buang waktu, dengan terus menjadikan kompetisi yang sudah separuh perjalanan ini, sebagai masa transisi dari skema lama ke skema yang baru.

Sarri harus tegas, memaksa filosofi sepak bola menyerang "Sarri Ball" kepada seluruh anak asuhnya tanpa terkecuali. Bukan malah membiarkan anak asuhnya terlena, bernostalgia dengan skema lama, yang menjadi zona nyaman bagi diri mereka sendiri.

Untuk berjalan dengan baik dan signifikan, terkadang perubahan memang harus dipaksakan. Kalau Sarri benar ingin merevolusi total sepak bola "ngeselin" ala Juventus yang sudah mendarah daging, maka sekaranglah saatnya, selagi Juve tertinggal dari musuh bebuyutannya, Inter Milan.

Inilah saat yang tepat bagi Juventus, untuk berhenti menganggap dirinya sebagai seekor Zebra, yang hanya bisa berlari kencang saat ketakutan.

Sarri harus lebih peka terhadap para pemainnya sendiri, seperti Emre Can yang mulai mengalami "lack of motivation" karena menjadi pilihan kedua. Juga Dybala dan Ramsey yang mengalami nasib serupa.

Atau bahkan Ronaldo, yang kelihatan sekali, menahan "gatal" karena kerap disandingkan dengan pemain-pemain yang tak bisa menerjemahkan pergerakannya.

Inilah waktu bagi Sarri mengubah identitas Juventus secara keseluruhan, menjadi seekor jaguar berbulu hitam pekat yang ganas, bengis, bermata putih menyala, yang siap memangsa siapapun di depannya, entah itu serigala betina, elang sawah, ular kasur, atau bahkan setan merah penunggu toilet.

Sarri harus bisa menemukan cara dan formulasi untuk mengatasinya, setidaknya sampai akhir tahun ini, sebelum liga terhenti di jeda kompetisi.

Ia harus sesegeranya mengubah wajah Juve, seperti secantik dan seindah bisikan nikotin yang menguasai dunia khayalnya. Bukan malah mengubah Juve, menjadi sosok yang imut, lucu & menggemaskan bagi lawan-lawannya. Seperti Kochenk Oren.

***
Penulis biasa dihujat di akun Twitter @juve_gl

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun